Jakarta, CNN Indonesia -- Jika pemerintah benar-benar ingin menghapus Daftar Negatif Investasi (DNI) di Indonesia, ada satu peraturan perfilman yang masih mengganjal. Demikian kata Corporate Secretary Cinema 21, Catherine Keng.
Aturan yang dimaksud Catherine termaktub dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Itu berhubungan dengan kuota bioskop untuk film nasional dan Barat.
Pasal 32 UU No 33/ 2009 tentang Perfilman itu menyebut, "Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 bulan berturut-turut."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Catherine, kuota itu belum bisa dipenuhi. Pertama, katanya, aturan itu butuh 'didorong' peraturan menteri yang lebih spesifik. Kedua, kuota itu tidak realistis.
"Sekarang saja
market share film Indonesia hanya 30 persen. Aturan ini perlu direvisi dengan melihat market share yang ada. Tidak mungkin 60 persen, kalau 20 sampai 30 persen itu lebih realistis," ujar Catherine saat berbincang dengan media pada Senin (20/6).
Market share film Indonesia yang 30 persen itu saja sudah membaik. Pada tahun-tahun sebelumnya,
market share film nasional di bawah itu. Pada 2008 pernah market share-nya sampai 56 persen. Tapi angka menurun seiring dengan digitalisasi perfilman.
"Semua jadi bikin film karena biaya produksi lebih murah," kata Catherine. Film meningkat secara kuantitas, tapi tidak dengan kualitas.
"Film yang beredar ada karena dia ada, bukan karena disukai dan belum tentu diminati. Itu akan merugikan citra film nasional," ujarnya melanjutkan. Tahun lalu,
market share film nasional terendah selama satu dekade.
Penyebabnya, antara lain karena ada tim seleksi film khusus di jaringan bioskop XXI. Film yang tidak layak tonton tidak diberi jatah layar. Kualitas pun membaik. Perlahan, penonton kembali tertarik pada film nasional.
"Tahun 2016 ini baru sampai Juni
market share-nya 30 persen. Proyeksinya, sampai akhir tahun jumlah penonton Indonesia bisa mencapai 25 juta dari biasanya 15 juta orang."
Pemerintah, lanjut Catherine, seharusnya menyerahkan
market share ke penonton, bukan diberikan patokan yang wajib dihormati bioskop. "Khawatirnya aturan itu melindungi film-film yang tidak mutu dan tidak diminati yang hanya mengatasnamakan film nasional."
Ia menegaskan, "Penonton dan citra film nasional lah yang nantinya dirugikan."
Catherine juga menilai bioskop-bioskop asing yang masuk tidak akan mau memberikan jatah tayang 60 persen pada film nasional. Bukan hanya karena mereka investasi asing, tetapi juga film nasionalnya sendiri tidak ada.
"Itu tidak akan menarik bagi mereka," ujarnya.
Berdasarkan penelitian Entgroup tentang
box office di China, bahkan kontribusi film lokal mereka yang dikenal kuat pun tidak sampai 60 persen. Dari penelitian yang dirilis 2015 itu, kontribusi film domestik tertinggi 59 persen.
Itu terjadi pada 2013, setelah pada 2012 kontribusi film lokal hanya 48 persen sementara film impor sampai 52 persen.
Terakhir, pada 2014 kontribusi film lookal China turun menjadi 55 persen. Namun itu masih di atas film impor yang kontribusinya di
box office 45 persen, naik empat persen dari tahun sebelumnya yang jatuh di 41 persen.
China layak menjadi perbandingan karena ia akan menjadi pasar film terbesar di dunia, termasuk bagi Hollywood. Diberitakan The Hollywood Reporter, pertumbuhan industri perfilman di China bisa mencapai angka 19 persen per tahun. Sementara di Hollywood, pertumbuhannya hanya dua persen per tahun.
DNI yang selama ini ditutup adalah daftar industri di Indonesia yang tak boleh dimasuki investasi asing. Pemerintah belakangan berencana membukanya, termasuk produksi, distribusi, dan eksibisi di bidang perfilman.
Dengan demikian, produksi film asing di Indonesia akan lebih mudah, demikian pula jika ada distributor atau perusahaan produksi yang ingin membuka kantor cabang. Bioskop asing pun boleh berinvestasi di Indonesia.
Selama ini bioskop asing hanya pernah menanamkan sebagian kecil saham, seperti CGV untuk Blitzmegaplex menjadi CGV blitz.
(rsa)