Jakarta, CNN Indonesia -- Bibit kecintaan Taufiq Ismail pada dunia sastra sudah disemai sejak kecil. Bacaan orang tua yang seabrek membuatnya suka membaca sejak usia tujuh tahun. Puisi pertama yang dimuat di media massa dibuatnya saat berusia sekitar 10 atau 12 tahun.
Sejak itu Taufiq tahu, kelak ia ingin menjadi penulis. Tapi setelah lulus SMA, ia justru terjun ke dunia yang sungguh berbeda. Sosok yang kemudian dikenal sebagai salah satu penyair besar Indonesia itu alumnus Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Kepada CNNIndonesia.com yang menemuinya di kantor kawasan Utan Kayu, Jakarta, baru-baru ini, Taufiq mengatakan, ia sebenarnya tak ingin menjadi dokter hewan. Tidak saintifik, menurutnya. "Kalau orang sakit kan ditanya keluhannya apa. Kalau harus tanya sama hewan, saya enggak bisa bahasa hewan," ia berseloroh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi ia jatuh cinta pada bidang peternakan. Karena itu menjadi satu fakultas dengan Kedokteran Hewan, mau tak mau ia memilih fakultas itu.
Perkara kecintaannya pada bidang peternakan yang jelas jauh dari cita-cita menjadi penulis itu, Taufiq punya cerita tersendiri. Itu bermula dari keberangkatan dirinya ke Amerika saat SMA, untuk pertukaran pelajar.
Di sana, Taufiq tinggal bersama orang tua asuh (wali). Pelajar Indonesia yang ke sana tinggal bersama orang lokal, demikian pula sebaliknya, pelajar Amerika yang ke Indonesia. Sang ibu wali menawari Taufiq pekerjaan paruh waktu saat libur Natal. Itu hal biasa bagi anak lokal.
Seminggu Taufiq bekerja di toko tekstil. Ia mengukur kain, dan sebagainya. Rupanya mengantongi uang sendiri membuat Taufiq senang. Saat mendapat libur Paskah, ia kembali meminta pekerjaan pada ibunya. "Yang menghasilkan duitnya lebih banyak," kata Taufiq waktu itu.
Sang ibu menjawab, jika ingin mendapat uang lebih, kemungkinan pekerjaan itu lebih berat. Bagi Taufiq tidak masalah. "Mama saya kemudian menelepon seseorang. Lalu saya dibawa berkendara ke luar kota," Taufiq mengenang saat itu.
Sampailah ia ke sebuah peternakan nan luas. Anak-anak seusianya sudah mengantre untuk mendapat pekerjaan di sana. "Mama Helen [nama ibu wali] langsung masuk dan saya bisa langsung kerja," ujarnya. Taufiq kebagian mengurusi traktor untuk memanen gandum.
"Jadi traktor itu kan
muter, kami anak-anak di belakangnya baris memunguti gandum yang sudah terpotong," kata Taufiq menerangkan.
Tibalah saat makan siang. Berbekal makanan dari ibunya, Taufiq memilih bersantai di sebuah pohon rindang. Suatu kali ia didatangi sang pemilik peternakan. "Ditanya, apa mau minum susu sapi? Ya, saya mau."
Ia lantas diajak ke kandang sapi dan diajari memerah susu sapi langsung dari binatang ternaknya. Setelah mendapat segelas, ia diminta meminumnya langsung. Taufiq awalnya menolak. Di Indonesia, ia biasa meminum susu sapi yang telah dimasak dan digulai terlebih dahulu.
"Ternyata saya baru tahu, meminum susu sapi langsung itu sudah ada sukrosanya. Kalau ditambah gula, jadi glukosa," ia menuturkan. Dari peternakan itu pula ia terkagum-kagum melihat banyaknya ayam, sekitar seribu ekor, yang bertelur setiap sekitar lima menit sekali.
Saat makan siang lain waktu, ia mengagumi hal lain lagi. Dari bawah pohon rindang tempat ia biasa makan, Taufiq melihat betapa indah dan damainya sebuah keluarga. "Ada enam orang makan bersama, dari nenek sampai cucu," ujarnya kagum.
Saat itu juga Taufiq bertekad, dirinya ingin punya peternakan. Ayam cukup seratus dan sapi 10 ekor, ditambah padi. Tapi itu bisa memberinya penghasilan tetap dan membuatnya tetap dekat dengan keluarga. "Sambil makan siang, saya bisa menulis puisi," begitu Taufiq membayangkan.
Maka saat ia akhirnya pulang dari Amerika setelah pertukaran pelajar selama sekitar setahun, Taufiq punya cita-cita baru: menjadi peternak. "Bapak dan Ibu saya bangga anaknya pulang dari Amerika. Tapi waktu mereka tanya setelah belajar di sana mau jadi apa, saya malah jawab saya mau beternak," cerita Taufiq.
Lagipula ia sadar, menjadi penulis tidak bisa hanya makan mengandalkan karya. Ia butuh pemasok dana tetap. Dengan beternak, itu bisa dilakukan.
Beruntung, kata Taufiq, ayah maupun ibunya tak memurkai cita-citanya menjadi peternak. Sang ayah malah mengizinkannya masuk Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan IPB. Di sana, Taufiq akhirnya mendapat gelar sarjana S1. Ia hendak melanjutkan pendidikan S2 dan S3 ke Amerika, namun batal hanya karena ia menandatangi Manifesto Kebudayaan yang anti-PKI, sekitar 1964.
Sayangnya, belakangan cita-cita Taufiq menjadi peternak pun harus gagal. Bukan karena Manifesto Kebudayaan. Pria kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935 itu sebenarnya ingin membeli pulau kosong di sekitar Selat Malaka untuk dijadikan ladang dan peternakan. Namun entah kenapa, itu batal.
Ia kemudian lebih banyak berkecimpung di perusahaan swasta Unilever. Taufiq juga lebih konsisten berkarya, menghasilkan sajak demi sajak menggugah dari hasil malam-malam ia merenung dan menulis.
Kini, sekitar tujuh dekade sudah Taufiq berkarya, hingga menjadi sastrawan legendaris. Usianya menginjak 81 tahun pada hari ini (25/6). Meski keinginannya menjadi peternak gagal, setidaknya ia masih memegang teguh mimpi jadi penulis.
(rsa/vga)