Jakarta, CNN Indonesia -- Budiman Sudjatmiko masih usia kuliah saat kondisi sosial dan politik Indonesia bergejolak pada akhir 1990-an. Bersama kawan-kawan generasinya Budiman ikut menjadi bagian dalam perlawanan terhadap kuatnya kekuasaan.
Kini 20 tahun kemudian, Budiman ingin membagikan kisahnya kala itu kepada generasi muda masa kini. Ia pun menuangkannya ke dalam novel bertajuk
Kisah Anak-anak Revolusi. Novel itu sudah dirilis dalam dua bagian.
Tapi kisahnya tak berhenti sampai di situ. Budiman ingin meneruskan cerita perjuangan mahasiswa kala itu ke segmen yang lebih luas. Budaya pop yang lebih ringan bisa membantu mwejudkan keinginannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk mengingatkan lagi soal sejarah Indonesia pada masa terakhir Orde Baru hingga Reformasi dengan kemasan masa kini. Intinya membuat politik, sejarah, ekonomi, dan filsafat jadi mudah dikunyah dan lebih menghibur."
Usai menuliskan kisahnya dalam
Kisah Anak-anak Revolusi, Budiman kerap mendapat masukan soal membuat ceritanya lebih '
nge-pop.' Muncullah ide untuk kembali menuangkan cerita itu melalui medium komik.
Ia lantas mencari komikus yang goresan penanya sesuai dengan karakter cerita anak-anak revolusi. Ditemui dalam PopCon Asia 2016 di Senayan, Jakarta, Sabtu (13/8) Budiman menerangkan ia tertarik pada ilustrasi Hari Prast.
Sang komikus tak pikir panjang saat mendapat tawaran dari Budiman. Ia mengerjakannya bersama dengan Wastukancono Dp. Tapi di tengah pembuatan, Hari mengaku kesulitan.
"Ini pertama kali membuat komik panjang, biasanya hanya ilustrasi. Prosesnya sekitar setahun karena belum pernah dan tidak gampang menerjemahkan novel ke komik," ujar Hari bercerita.
Untunglah Budiman punya banyak bahan riset. Dari situlah Hari membangun emosi dan goresan gambarnya. "Riset lewat video-video yang ada, foto dan dokumen pribadi Mas Budi," katanya.
Ia juga meminta bantuan pada teman-teman masa mudanya di kampung halaman untuk mengirim dokumentasi yang dibutuhkan. Hari butuh banyak referensi lokasi berlatar masa lampau.
"Kayak kampung halaman saya. Saya minta teman-teman fotokan. Kemudian bioskop tempat saya nonton masa muda, lalu kosan saya di Yogyakarta."
Hari berusaha menyuguhkan komik yang gambarnya semirip mungkin dengan aslinya. Jika tak menemukan potongan gambar yang dibutuhkan, ia mengakalinya dengan memberi bumbu pada pesan-pesan yang ingin disampaikan.
"Kami usahakan memang se-
real mungkin, karena banyak juga ternyata yang belum muncul di novel dan kami sampaikan lewat gambaran di komik. Kami juga tambah dramatisasinya seperti dikatakan ribuan orang, dibuatnya jadi kumpulan orang dalam ombak," kata Hari kepada CNNIndonesia.com.
Komik
Kisah Anak-anak Revolusi itu baru akan diluncurkan September mendatang. Yoga Adhitrisna yang menulis naskahnya, bukan lagi Budiman. Komik itu untuk remaja dan dewasa.
Budiman menuturkan, siapa saja pada dasarnya boleh membaca komiknya kelak. Tapi untuk anak-anak, ia menyarankan ada dampingan orang tua.
"Tujuan saya cerita soal pergulatan apa artinya kegelisahan masa remaja, ini bisa sebagai bahan diskusi."
Komik itu akan terdiri atas tujuh sampai delapan seri yang diadaptasi dari kedua novelnya. Seri pertama berjudul
Talking About Revolution, terinspirasi lagu Tracy Chapman yang kerap dinyanyikan mahasiswa '90-an.
"Seri ke-dua dan ke-tiga sudah jadi naskahnya, judulnya
Forever Young dan
Darah Juang," tutur Budiman. Seri ke-dua akan keluar enam bulan setelah yang pertama. Baru disusul ke-tiga.
Sama seperti novelnya, Budiman menyatakan bahwa komik berjumlah 95 halaman itu menggunakan alur maju dan mundur soal peristiwa yang dialami sejak dirinya kanak-kanak hingga muda.
Meski pengalaman Budiman telah tertuang dalam dua medium, novel dan komik, ia belum terpikir untuk membawa kisahnya itu menjadi sebuah film.
Alasan pertama, karena aktivitasnya di bidang politik. "Saya takut akan tergoda 'macam-macam,'" ujar Budiman.
(rsa/rsa)