Jakarta, CNN Indonesia -- Bagaimana rasanya menjadi warga kulit hitam di Amerika? Jawaban atas pertanyaan itulah yang kemudian menjadi dasar dibangunnya museum yang baru di Washington, AS. Museum ini diyakini akan menjadi etalase yang merekam jejak sejarah kelam AS, dan sekaligus merayakan kekakayaan warisan masa silam.
Bernama The National Museum of African American History and Culture, museum ini dijadwalkan dibuka pada Sabtu (24/9).
Menyusul masih kerap terjadinya ketegangan isu ras antara kulit hidam dan putih di AS, keberadaan museum baru ini menjadi sangat menarik, dan juga penting.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Museum dengan bentuk bangunan seperti mahkota perunggu ini mengundang siapapun pengunjungnya untuk melihat rekam jejak identitas kulit hitam dan kontribusi budaya yang diberikannya, serta bagaimana dulu sejarah kelam perbudakan dan diskriminasi yang mereka alami.
Dikutip dari AFP, pada Jumat (23/9), Barack Obama--presiden kulit hitam pertama AS--disebut akan hadir dalam pembukaan museum tersebut.
Museum Penting Dari tampak luar, gedung museum terbagi atas tiga tingkat, dengan sudut kemiringan tertentu, serta panel perunggu yang mencolok.
David Adjaye, arsitek berdarah Ghana-Inggris, membuat desain museum dengan siluet kontemporer yang berdiri tegak dengan marmer putih yang membuatnya tampak berbeda dibanding bangunan lain di sekitarnya.
Museum yang sudah digagas sejak 100 tahun lalu ini, terbagi atas dua bagian. Bagian lantai satu didedikasikan untuk mengungkap sejarah dan pemberdayaan kulit hitam, sementara lantai atas berisi koleksi seputar olahraga, musik, hiburan, makanan dan budaya pop.
Berada tak jauh dari White House dan Washington Monument, museum ini mudah diakses. Koleksinya juga memuat benda penting dan unik, seperti trumpet yang pernah dimainkan Louis Armstrong, dan atau Cadillac merah yang pernah dikendarai Chuck Berry.
Jejak Sejarah"Bagaimana menyampaikan suara bagi yang tak punya kuasa?" ujar Nancy Bercaw, kurator museum untuk koleksi "Slavery and Freedom".
"Daripada mencoba menyampaikan inilah hidup, inilah pekerjaan, dan lainnya, kami mencoba merepresentasikan semua aspek hidup manusia dalam suasana yang penuh ketegangan," ujarnya pada AFP.
Sebagai kurator, Bercaw berharap apa yang ia inginkan tercapai lewat penempatan objek yang kontradiktif. Seperti, biola dan rantai, yang menunjukkan begitulah hidup bagi para budak, "bukan soal apa yang mereka kerjakan, atau yang tidak mereka kerjakan, dan tidak hanya tentang perbudakan itu sendiri."
Menurut Bercaw, perbudakan, yang dihapus setelah perang sipil 1861-1865, menjadi pijakan dasar negara AS saat ini.
"Jika berjalan di jalanan, mereka warga kulit hitam akan dengan mudah dihentikan, ditahan dan dijual, hanya karena tampilan fisik mereka. Sesuatu yang berlaku di AS 200 tahun lalu."
Sayangnya, melihat kondisi sekarang yang juga rentan dengan kekerasaan terhdap warga kulit hitam, situasi ternyata tidak jauh berubah. Menurut Bercaw, kebiasaan dulu ternyata masih berlangsung.
Koleksi UnikDalam pameran sesi pengetahuan yang dihadirkan musuem, ada potret Malcolm X dan Rosa Parks yang tergantung tak jauh dari pakaian hoodie putih Ku Klux Klan.
Spencer Crew, kurator pameran mengatakan koleksi yang ada di dalamnya memberikan gambaran jejak sejarah kulit hitam.
Di sini, kata dia, publik akan mempelajari pentingnya sosok Martin Luther King, serta gerakan Black Power, dan aksi partai Black Panther.
Di samping itu, ada juga foto tentara kulit hitam yang turut dalam Perang Vietnam, sebagai contoh turut dipajang, bersama dengan potret petinju Muhammad Ali, yang menolak turut berperang dan mendapat hukuman.
"Ada banyak hal yang terjadi dan dialami oleh Afrika-Amerika di negara AS," ujar kurator William Pretzer.
Berkaitan dengan banyaknya warga kulit hitam yang meninggal dunia di tangan polisi, museum mengumpulkan berbagai artefak dan dokumen gerakan Black Lives Matter, dan membuat ruang digital sehingga pengunjung nantinya dapat merasakan suasana pada saat itu.
Thomas DeFrantz, profesor bidang African American Studies di Duke Univeristy mengatakan keberadaan museum menjadi penting untuk menjelaskan kompleksnya sejarah warga kulit hitam di AS.
Ia meyakini bahwa mengunjungi museum tersebut dapat membantu mengurangi ketegangan isu rasial yang selama ini terjadi di AS.
Menurut DeFrantz seorang polisi wanita kulit putih yang menembak pria kulit hitam mungkin akan memahami dasar ketakutannya terhadap orang kulit hitam.
Paul Gardullo, kurator pameran menyebut pengalaman yang dialami oleh orang Afrika-Amerika di masa silam adalah cerita utama dari sejarah Amerika.
"Tidak sederhana dan tidak satu identitas, dan jelas berbeda. Dan itulah kenyataannya."
(rsa)