Jakarta, CNN Indonesia -- Ahmad Tohari menulis
Ronggeng Dukuh Paruk pada 1982, atau 17 tahun setelah peristiwa 1965. Bercerita tentang kisah cinta antara Srintil, seorang penari ronggeng dan teman masa kecilnya Rasus, novel ini mengangkat peristiwa 1960-an di Indonesia yang penuh gejolak politik.
Ditengarai novel ini adalah salah satu karya sastra yang mengawali penggunaan peristiwa tragedi 1965 sebagai latar cerita. Novel ini ditulis Tohari dalam tiga bagian, yakni
Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan
Jantera Bianglala.Penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU) kemudian kembali menerbitkannya dalam satu novel pada 2003 berjudul
Ronggeng Dukuh Paruk. Penerbitan ulang ini disertai penyertaan bagian yang dulu kena sensor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hingga 2012, novel tersebut telah dicetak ulang sampai sembilan kali," ujar Hetih Rusli, editor fiksi GPU, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (29/9).
Menurut Hetih, karya Ahmad Tohari tersebut meski sudah hampir 30 tahun berlalu sejak pertama kali terbit, masih diminati hingga sekarang. Novel yang sama, kata dia, juga pernah difilmkan lewat
Darah dan Mahkota Ronggeng pada 1983, dan
Sang Penari pada 2011.
"Peristiwa 1965 menjadi latar dalam penceritaan, karena menjadi peristiwa sejarah penting di Indonesia, seperti halnya peristiwa Tembok Berlin bagi orang Jerman,” ujar Hetih.
Dalam novel Tohari tersebut, malapetaka politik 1965 membuat Dukuh Paruk hancur, baik secara fisik maupun mental. Kemunculan Partai Komunis Indonesia yang disimbolkan dengan warna merah juga menjadi salah satu fokus penceritaan.
Disampaikan Hetih, setelah karya Tohari itu, GPU baru menerbitkan lagi novel dengan latar 1965, lewat karya Laksmi Pamuntjak berjudul
Amba. "
Amba juga laris, bahkan sudah cetak ulang ke-dua," ujarnya menambahkan.
Novel
Amba pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris pada 2012 dengan judul
The Question of Red. Karya Laksmi yang mencuri perhatian publik internasional ini kemudian juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman berjudul Alle Farben Rot.
Amba menjadi salah satu pusat perhatian saat Indonesia menempati stan terbesar sebagai Tamu Kehormatan Frankfurt Book Fair tahun lalu. Laksmi sebagai penulis juga sudah diundang mendiskusikannya di beberapa negara. Ia bahkan baru memenangi sebuah penghargaan sastra di Jerman berkat
Amba.
Dalam
Amba, dikisahkan sosok Bisma seorang dokter muda yang memilih tinggal di Pulau Buru untuk alasan kemanusiaan. Ia bertemu dengan Gerard yang membuat dia belajar banyak tentang paham kiri. Novel ini lalu menghadirkan orang-orang yang tersingkir dari catatan tahun 1965. Sejarah, katanya, menyingkirkan orang-orang kecil dari catatan.
Berlatar Peristiwa 1965Ronggeng Dukuh Paruk dan
Amba, hanya dua dari sejumlah karya sastra yang mengangkat peristiwa tragedi 1965 sebagai latar penceritaan.
Mengutip Katrin Bandel (2009), dalam tulisan Asep Sambodja, karya sastra Indonesia yang menggunakan peristiwa 1965 sebagai latar tidak begitu banyak, dan dapat dibagi atas dua perspektif.
Yang pertama, yakni karya yang perspektifnya sama dengan pemerintahan Orde Baru yang menempatkan PKI sebagai bahaya laten dan lawan politik yang mesti dihindari, seperti
Pergolakan karya Wildan Yatim (1974),
Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam (1975), dan
Larung karya Ayu Utami (2001).
Sementara sastrawan yang menggunakan perspektif yang berbeda dengan perspektif Orde Baru, yakni novel
Jamangilak Tak Pernah Menangis dan Mati Baik-baik, Kawan karya Martin Aleida (2004 dan 2009).
Di luar karya-karya tersebut, ada juga beberapa novel yang mencuat dan mulai mencuri perhatian dalam beberapa waktu terakhir, karena kembali mengangkat peristiwa 1965 dari berbagai sudut pandang.
Beberapa di antaranya yakni
September (2006) karya Noorca Massardi,
Blues Merbabu (2011) karya Gitanyali (nama pena Bre Redana),
Pulang (2012) karya Leila S. Chudori, dan
Gadis Kretek (2012) karya Ratih Kumala.
September menyeret ingatan pada peristiwa 30 September lewat tokoh Darius, manajer senior yang di-PHK karena pabrik kecap tempatnya bekerja dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Melalui tokoh Darius, pembaca diajak membuka kembali ingatan sejarah lewat sejumlah nama, seperti Letjen Mahya Nida, Tasnio Hanu, Alimenje, Errie Pandeten yang bila digubah sedemikian rupa akan mengingatkan pada nama tokoh seputar Peristiwa 1965.
Gitanyali diceritakan masih SD di kota kecil di kaki Gunung Merbabu ketika menyaksikan sang ayah diambil aparat, dan tak pernah ketahuan lagi rimbanya. Sang ibu menyusul ditahan tanpa tahu kapan akan dibebaskan karena dianggap terlibat peristiwa G30S. Kehidupannya berubah, keluarganya tercerai berai.
Pulang mengisahkan tokoh Dimas yang tinggal di Paris, terus menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia satu persatu tumbang, dikejar, ditembak atau menghilang begitu saja dalam perburuan Peristiwa 30 September. Dia juga tak bisa melupakan sosok Surti yang bersama ketiga anaknya berulan-bulan diinterogasi tentara.
Gadis Kretek mengangkat cerita tentang pengusaha rokok yang ditangkap, disiksa dan diinterogasi karena kemasan rokoknya berwarna merah, warna PKI. Tidak hanya itu, konsep undangan pernikahan anaknya ditemukan di sebuah percetakan yang kerap mencetak keperluan-keperluan partai komunis.
(rsa)