Jakarta, CNN Indonesia -- Pada 1944, setahun sebelum Indonesia merdeka, Otto Djaya menggelar pameran lukisan tunggal dengan tema 'Semangat Keprajuritan dan Patriotisme.' Pameran ini menggambarkan bagaimana para prajurit berjuang dalam membela tanah air.
Digelar di Pusat Kebudayaan di Jakarta, pameran ini merupakan salah satu dari sekian banyak pameran yang diusung Keimin Bunka Shidoshu bagi para seniman Indonesia dan Jepang.
Temuan fakta di atas menjadi satu di antara beberapa fakta menarik lainnya yang diungkap Inge-Marie Holst dalam bukunya yang berjudul World of Otto Djaya atau dalam versi bahasa Indonesia, Dunia Sang Otto Djaya yang baru saja dirilis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perilisan buku tersebut bersamaan dengan perayaan seabad pelukis kelahiran 6 Oktober 1916 itu melalui pameran bertajuk ‘100 Tahun Otto Djaya (1916-2002)’ yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 30 September hingga 9 Oktober 2016.
Buku setebal 137 halaman itu dibagi atas 11 bab. Di dalamnya, Inge-Marie memulai pemaparan dengan mengupas akan situasi seni di Batavia sebelum muncul Otto Djaya, masa kecil dan bertumbuh Otto, pembentukan PERSAGI, masa pendudukan Jepang, revolusi Indonesia, dan perjalanan Otto dan Agus Djaya ke Belanda.
Kisah hidup Otto lalu berlanjut ketika Otto kembali ke Indonesia, menikah dan tinggal di Semarang, hingga kembali lagi ke Jakarta. Pada bagian akhir, Inge-Marie melengkapinya dengan penuntun cerita legenda rakyat dan mitos dalam memahami karya-karya Otto.
Rekam JejakOtto Djaya lahir di Rangkasbitung, Jawa Barat pada 6 Oktober 1916. Bernama lengkap Otto Djajasuntara, bakat melukisnya sudah dimulai sejak ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Kemampuannya melukis makin terasah ketika beranjak dewasa, dengan pendampingan yang dilakukan kakaknya Agus Djaya (1913-1994).
Ketika Indonesia merdeka, Otto bersama Agus pindah ke Sukabumi untuk bergabung dalam ketentaraan nasional. Otto berpangkat mayor, dan dianugerahi empat bintang emas.
Selama masa Republik Indonesia baru terbentuk, Otto kerap mengikuti Presiden Soekarno keliling penjuru Indonesia. Ia kemudian melukis Presiden Soekarno sedang di atas podium memberikan pidato yang penuh semangat.
Presiden Soekarno pun lalu mengoleksi beberapa karya Otto untuk menambah koleksi karya seni istana.
Pada 1946 Otto mundur dari militer. Ia kembali lagi ke Jakarta dan menggelar pameran tunggal di Museum Nasional Jakarta, di mana ia memamerkan karya-karya yang ia buat saat menjalani kehidupan militer.
Bersama Agus Djaya ia lalu menggelar pameran tunggal di museum di Koningsplein, Kings Square, Jakarta pada 20 Februari 1947. Dalam pameran yang digelar Kementerian Pendidikan Seni dan Ilmu Sains Republik ini turut hadir Gubernur Jenderal van Mook yang kemudian membeli beberapa lukisan mereka.
Pameran di Eropa Pada 1947, Otto dan Agus medapat dana bantuan Malino. Mereka disiapkan sebagai utusan Indonesia untuk berangkat mempelajari seni dan budaya di Belanda.
Otto membawa serta 170 lukisan karyanya di mana beberapa di antaranya menggambarkan gerakan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan tersebut diungkapkan Otto dalam wawancaranya dengan Dr Jennifer Lindsay dan Amir Sidharta pada 5 Desember 1999.
Di Belanda, Otto dan Agus kerap berpameran di Museum Stedelijk, Amsterdam. Otto juga pernah melakukan pameran tunggal di Museum Stedelijk dengan 81 karya, di antaranya karya yang ia buat pada 1942 hingga 1947. Pameran tersebut berlangsung 10 oktober 1947.
Usai berpameran di amsterdam, Otto mengirim surat ke Cassou, pemimpin museum seni modern Paris. Karena museum ini sedang tutup sementara, Otto dan Agus berpameran di Galeri Barbizon di area Saint Germain.
Tanggal 5 Maret hingga 4 April 1948, Museum Stedelijk menggelar eksibisi berjudul 'Amsterdamse Schilders Van Nu' atau 'Pelukis-Pelukis Amsterdam Sekarang.' Otto dan Agus Djaya serta beberapa pelukis lain memamerkan karya-karya mereka disana. Pameran ini menampilkan banyaknya bentuk-bentuk pengekspresian seni yang mulai timbul setelah Perang Dunia II baik di Eropa maupun di Indonesia dan Asia (hal 93).
Dalam pameran ini Otto menampilkan 3 karyanya yakni, “Visite”,Visit, “Gewijd Avondmaal”, Devoted Supper, dan “Javaanse Danseres”, Javanese Dancers. Masing-masing terjual seharga 300 Gulden, 150 Gulden dan 230 Gulden. Pada tahun 1948 satu Gulden itu setara dengan 35-40 sen dolar Amerika.
Menjadi momen luar biasa ketika Otto Djaya kemudian dapat berpameran bersama-sama dengan para pendiri Cobra: C.K.Appel (1921-2006), Corneille (1922-2010), dan Jan Nieuwenhuys (1922-1986). Cobra sendiri merupakan grup seniman bergengsi Eropa saat itu, yang merupakan singkatan dari Copenhagen-Brussels-Amsterdam.
Pada tahun 1949 Otto ikut dalam Eksposisi Le Grand Prix de Peinture de Monaco di Monte Carlo dan menerima “Premiere Mention Honorabile“.
Pada tanggal 22 April 1950, sebelum Otto Djaya kembali ke Indonesia, sebuah pameran perpisahan bagi dirinya dan kakaknya diselenggarakan di Sentral Budaya Internasional di Amsterdam.
Dua atau lebih dari lukisan-lukisan Otto Djaya yang disimpan di Belanda dipamerkan di Biennale Sao Paulo pertama di Brazil tahun 1951. Otto
tidak hadir pada acara tersebut. Anggota Persagi Kusnadi (1921-1990) bertanggung jawab dalam penyeleksian lukisan-lukisan Indonesia untuk dipamerkan di Biennnale Sao Paulo tersebut, yang mana pelaksanaannya menuai sukses besar.
Pujian media Belanda Sejumlah surat kabar terbitan Belanda kerap memberitakan dan memuji karya Otto. Surat kabar Het Volksweekblad, misalnya, mempublikasikan sebuah artikel tentang pameran tunggal tersebut. Penulisnya, berinisial P.C., mengulas dalam artikelnya yang berjudul “ Pelukis-pelukis Indonesia di Amsterdam”.
Disebutkan, pameran yang diselenggarakan di Museum Stedelijk oleh dua bersaudara Agus Djaya dan Otto Djaya merupakan sebuah peristiwa yang layak mendapatkan perhatian. Dalam iklim politik sekarang sangatlah memungkinkan bagi dua bersaudara dari Jawa ini (di mana sang kakak tertuanya memainkan peranan penting dalam perkembangan budaya bangsa), untuk menampilkan karya artistik sangat nasional mereka dan mendapatkan penerimaan yang baik.
Surat Kabar De Tijd, Amsterdam memuat artikel berjudul
Pelukis-pelukis Indonesia di Museum Stedelijk. Ulasan ini menulis bahwa: “Otto, yang bertolak belakang dari kakaknya, melukis figur tunggalnya dengan tenang atau dalam sapuan warna-warna yang kuat dan berkarakter, dan tampaknya lebih suka menonjolkan sosok orang-orang dalam pelbagai warna daripada menonjolkan satu sosok figur tunggal saja."
Dari buku ini, pembaca juga dapat mengetahui Otto mengagumi Marc Chagall, seorang pelukis Yahudi yang menetap di Paris. Chagall menggunakan teknik yang menurut Otto mirip dengan pertunjukan wayang Cirebon. Otto juga mengagumi selera humor Chagall, dan cara dia menggambarkan realitas soisal. Pengaruh ini jugalah kiranya yang kemudian terlihat di lukisan-lukisan Otto.
Kehidupan pribadiSelain memaparkan rekam jejak dunia kreatif Otto, serta sepak terjangnya berpameran di berbagai tempat, buku ini juga membagi kehidupan pribadi yang dijalani Otto semasa hidupnya.
Sekembalinya ke Indonesia setelah tiga tahun di Belanda, Otto Djaya tidak bergabung lagi ke dalam militer maupun atau mencari posisi di birokrasi pemerintahan Republik Indonesia. Ia malah mulai bekerja di perusahaan percetakan yang ia sebut bernama “Bisnis Indonesia”. Perusahaan ini juga menjual buku-buku dan surat kabar.
Di perusahaan percetakan inilah Otto Djaya bertemu seorang wanita yang kelak menjadi istrinya; Titi Hernadi (1928-1990) yang lahir di Semarang.
Dari pernikahannya ini, Otto dikaruni empat orang anak, yakni Laksmi Hendrastuti, Maya Damayanti, Asoka Kusuma Djaya dan Sinta Dewi Handayani. Asoka meneruskan kiprah Otto dengan berkarier di dunia seni.
Selain dekat dengan Bung Karno, Otto semasa hidupnya juga dekat dengan pelukis Affandi. Dituliskan, bahwa jika akhir pekan datang, Otto dan keluarga kerap berkunjung ke kediaman Affandi.
Otto berpameran tunggal terakhir kali di pertengahan tahun 1999 di Yogyakarta. Saat itu ia sudah berusia 83 tahun.
Tiga tahun kemudian, Otto meninggal dunia, dan disemayamkan di Area Muslim Pemakaman Umum Tanah Kusir.
Di balik penulisan bukuInge-Marie bersama suaminya Hans Peter Holst menyampaikan bahwa mereka menemukan keindahan dari karya seni Otto Djaya awalnya pada 2007 di Jakarta.
Lukisan Otto Djaya yang pertama kali dilihat adalah Pertunjukan Seni Sunda, sebuah lukisan cat minyak yang dibuat di tahun 1988. Dalam lukisan ini diperlihatkanlah secara elok, anggun dan sensual performa para musisi ketika mengiringi para penari dan mengapresiasi para penonton. Energi dari para penari ini--yang padahal berada di luar kanvas--begitu gamblang terpancar dalam sapuan kuas Otto.
Dari temuan itu, kekaguman Inge-Marie mulai muncul. Ia lalu mencari tahu akan sosok Otto dan karya-karya yang pernah dibuatnya.
Sayangnya, Inge-Marie mengaku kesulitan menggali lebih jauh, karena biografi tentang Otto hamper tidak pernah dituliskan. Mereka lalu memutuskan untuk mencoba menelusurinya sendiri, dan berkolaborasi dengan Didier Hamel, dari penerbitan Hexart, Jakarta.
Dalam pengantarnya, Inge-Marie menyatakan bahwa buku ini merupakan edisi ke-tiga. Edisi pertama merupakan 100 eksemplar buku seni yang menampilkan kumpulan seleksi tiga ratus lukisan karya Otto Djaya.
Edisi ke-dua lebih merupakan ‘buku ekonomis’ yang memuat lebih banyak teks dan menampilkan hanya enam puluh lukisan. Sementara, edisi ke-tiga merupakan terjemahan dari edisi ke-dua, dan dapat diunduh tanpa biaya melalui situs resmi Galeri Nasional Indonesia.
(rah/rah)