Jakarta, CNN Indonesia -- Bagaimana rasanya menjadi buron? Takut, sepi, rindu menjadi satu. Sebagai manusia biasa, Widji Thukul juga merasakan itu. Ia bukan kebal perasaan takut, saat harus sembunyi-sembunyi pindah dari Yogyakarta ke Pontianak. Ia juga tidak lepas dari perasaan rindu kampung halaman, keluarga. Pun perasaan canggung saat berhadapan dengan lingkungan baru.
Segala kecamuk itu yang ingin dihadirkan sutradara Yosep Anggi Noen dalam filmnya yang bercerita tentang Widji,
Istirahatlah Kata-kata. Anggi tidak ingin menampilkan kegaharan penyair yang terkenal karena puisinya yang mengkritik pemerintahan dan kondisi sosial pada masa Orde Baru itu. Anggi ingin menghadirkan Widji sebagai manusia biasa pada umumnya.
“Dalam perjalanannya Widji Thukul perlahan memupuk keberanian untuk keluar dari persembunyian dan berinteraksi dengan masyarakat keseharian," katanya. “Film ini dibuat sebagai upaya melihat Widji Thukul mencatat keseharian ke dalam kata-kata yang kuat.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Filmnya pun melihat keseharian Widji, seperti yang ia rekam lewat kata-kata puitisnya.
Anggi memilih Gunawan Maryanto sebagai pemeran Widji. “Tentu wujudnya tidak sangat mirip tetapi Gunawan berhasil menguasai semangat Widji,” kata Anggi. Karakter Widji dibangun lewat kesaksian dua anaknya agar terasa lebih nyata, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah.
Anggi sendiri tak pernah mengenal laki-laki kelahiran 1963 yang menjadi sentral cerita filmnya. Widji, yang termasuk salah satu aktivis paling diburu di pengujung dekade ’90-an, hingga kini hilang tak jelas rimbanya. Entah apakah dibunuh dan dibuang atau masih hidup.
Tapi ia mencoba mengenal Widji lewat puisi-puisinya. Meskipun, awalnya Anggi tak suka puisi itu. Perkenalannya dengan puisi Widji adalah saat tetangganya membawakannya puisi berjudul
Tikar Plastik Tikar Pandan (1988). Menurut Anggi, itu seperti catatan harian.
"Waktu itu saya lebih suka baca puisi Taufiq Ismail, Chairil Anwar atau Rendra. Tapi perlahan-lahan puisi ini ternyata lebih kontekstual untuk merekam zaman, untuk merekam hari ini," kata dia. Dan puisi-puisi itulah yang membuatnya mengenal sosok Widji lebih jauh. Kini, ia ingin memperkenalkan sosok itu kepada generasi muda yang tak kenal Widji.
"Puisinya seperti catatan harian, kita bisa tahu bagaimana saat dia masih kecil, saat dia bekerja ini itu, saat dia berorganisasi dan bagaimana dia melihat ketertindasaan dan juga melihat ruang sepi,” ujar Anggi. Untuk membuat film, Anggi makin menekuni puisi-puisi itu.
[Gambas:Youtube]Ia butuh waktu dua tahun untuk melakukan riset sebelum membuat film yang pengambilan gambarnya dilakukan di Yogyakarta dan Pontianak itu. Selain dari puisi dan keluarga Widji, Anggi juga menemui kawan-kawan sang aktivis. Anggi pun membaca literatur di perpustakaan Ohie State University dan KITLV, di mana tulisan tangan Widji tersimpan secara rapi.
Untuk membuat latar film terasa lebih nyata, Anggi melihat banyak iklan di koran lama.
Istirahatlah Kata-kata yang berdurasi 98 menit sudah keliling dunia lewat berbagai festival internasional. Swiss, Jerman, Filipina, Belanda, sampai Perancis pun sudah melihat sosok pemberani yang pernah dimiliki Indonesia itu. Kini, ‘Widji’ pulang kampung.
Istirahatlah Kata-kata akan diputar di bioskop Indonesia mulai 19 Januari mendatang.