Singapura, CNN Indonesia -- Singapura menggelar berbagai kegiatan dan pameran seni di sepanjang Januari 2017. Salah satu acara yang paling banyak menyedot pengunjung adalah Art Stage Singapore, acara pameran karya seni tahunan.
Ini merupakan edisi ke-tujuh Art Stage di Negeri Singa. Acara ini dianggap berperan dalam melestarikan ekosistem seni kontemporer di Singapura dan Asia Tenggara.
Ratusan artis dari seluruh dunia berlomba memamerkan hasil karyanya. Selain memanjakan mata, menambah pengetahuan dengan memandangi kreasi menakjubkan, dan berbelanja koleksi seni baru, pengunjung juga bisa menghadiri pameran dan perkuliahan dalam Southeast Asian Forum, Collectors' Stage, dan Exhibitor Highlights.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah berkeliling melihat ratusan hasil karya seni yang ditampilkan,
CNNIndonesia.com menyimpulkan lima karya terbaik dalam perhelatan Art Stage Singapore tahun ini.
1. Out of Control (Yudi Sulistyo, Indonesia)
 Foto: CNN Indonesia/Resty Armenia Karya yang dipersembahkan oleh Pearl Lam Galleries ini sejatinya ingin menceritakan soal latar belakang terjadinya peperangan secara umum. |
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, hasil kreasi Yudi ini tampak seperti puing pesawat tempur sungguhan. Selain bentuknya yang sangat mirip dengan pesawat tempur asli, ukuran 153 x 440 x 334 sentimeter tak jarang membuat pengunjung Art Stage bertanya, "Mengapa ada puing pesawat tempur di tengah gedung pameran ini?"
Tak banyak yang tahu bahwa 'pesawat' yang dirancang Yudi tahun lalu ini terbuat dari perkakas yang bisa ditemui dengan mudah sehari-hari, yakni kardus, pipa plastik, kayu, baja, akrilik, dan cat biasa.
Out of Control dipajang di pojokan ruang utama Southeast Asia Forum Exhibition-Project Highlights. Karya yang dipersembahkan oleh Pearl Lam Galleries ini sejatinya ingin menceritakan soal latar belakang terjadinya peperangan secara umum.
Sang artis berpandangan bahwa banyak perang terjadi demi keuntungan, dibekingi oleh pihak-pihak yang mencari tambahan keuntungan dari konflik, atau untuk melindungi sumber daya geologis agar industri terus berjalan.
Yudi menganggap akumulasi militer sebagai elemen laten dari sistem kapitalis global masa kini di mana semakin banyak pihak yang berjuang untuk mendesak kekuatan transnasional dan kontrol atas sumber daya serta institusi global.
Pemakaian material daur ulang oleh Yudi untuk menciptakan mesin perang 'kertas macan' menyinggung kepada pemborosan sumber daya yang berlebihan dalam industri pembuatan senjata dan kesia-siaan besar dari adanya kemiliteran yang agresif.
Lulus dari Komunikasi Desain dan Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 1994, Yudi tinggal dan bekerja di Kota Gudeg. Pahatan realistis peralatan militernya dibuat dari karton dengan detail-detail yang diciptakan penggunaan kembali barang biasa dan peralatan rumah tangga, seperti botol dan bungkus korek api.
Sejak kecil Yudi mulai tertarik menciptakan karya yang nyaris tidak dapat dibedakan dari fungsi asli barang bakunya itu. Ia mengaku sering menghabiskan waktu masa kecilnya dengan menonton film-film perang bersama ayahnya dan memperbaiki mainan yang rusak dengan kretif.
2. Stake and Skewer (Svay Sareth, Kamboja)
 Foto: CNN Indonesia/Resty Armenia 'Stake or Skewer' mengaitkan sebuah tongkat yang biasanya dipakai oleh penjaja berjalan untuk menggotong 17 sandal. |
Jika dilihat sekilas, orang Indonesia mungkin akan berpikir, "Mengapa ada sandal karet dipajang di sini? Tak ada yang menarik." Pasalnya, sandal-sandal yang terbuat dari ban karet ini juga banyak ditemui di kampung-kampung di Indonesia. Tak jarang masyarakat di kampung menggunakan sandal model ini untuk pergi ke kamar mandi atau ke masjid.
Namun, Svay Sareth memiliki latar belakang yang agak menyedihkan dalam membuat karyanya ini. Pembuatan dua kreasi seniman asal Siam Reap ini dipicu oleh konfrontasi dengan sebuah pabrik sepeda motor yang menjual sandal ban karet yang memiliki nilai simbolis tinggi di kampung halamannya pada 2015.
Tersulut amarahnya, Svay lantas membeli setiap pasang sandal yang ada untuk persediaan sebagai bentuk perlawanan terhadap penyusunan kembali kekuasaan otoriter, dari komunisme ke kapitalisme, dalam hidupnya.
Stake or Skewer mengaitkan sebuah tongkat yang biasanya dipakai oleh penjaja berjalan untuk menggotong 17 sandal, sebagai simbol jumlah tahun yang Svay habiskan untuk ikut perang, bekerja, dan berada di tenda pengungsi.
 Foto: CNN Indonesia/Resty Armenia Svay membuat sandal ban karet menggunakan mulut, lidah, dan giginya. |
"Saya, Svay Sareth, memakan sandal karet," (2015) merupakan bentuk pengakuan dari dua karya historis, yakni
The Gold Rush (1921) karya Charlie Chaplin, di mana pencari keberuntungan yang spekulatif sangat kelaparan hingga memakan salah satu sepatunya, dan adegan Andy Warhol memakan hamburger dengan cara berbeda di film
66 Scenes from America (1982) karya Jorgen Leth.
Duduk di sebuah perkampungan komunitas miskin, Svay menggerogoti dan meludahkan 'makanannya,' menolak ideologi lain yang mematikan rasa dan memecah-belah masyarakat. Ia membuat sandal ban karet itu tanpa menggunakan peralatan apapun. Alih-alih, ia menggunakan mulut, lidah, dan giginya untuk menciptakan alas kaki ikonis itu.
3. Horse (Kawayan de Guiya, Filipina)
 Foto: CNN Indonesia/Resty Armenia 'Kuda' ini terbuat dari pita film dan gulungan video. |
Koleksi Michelangelo dan Lourdes Samson ini memang terlihat seperti patung kuda cantik pada umumnya. 'Kuda' berukuran 223,5 x 238,8 x 81,3 sentimeter ini berdiri di tengah-tengah ruangan Collector's Stage 2017: Expose Artworks.
Yang membuat 'kuda' ini berbeda adalah cara bagaimana ia 'dilahirkan' oleh Kawayan de Guiya pada 2011 silam, yakni melalui susunan ribuan pita film dan gulungan video yang berdurasi 1 jam 42 menit.
4. More We, Less Me (TROMARAMA, Indonesia)
 Foto: CNN Indonesia/Resty Armenia 'More We, Less Me' merupakan kreasi triptych atau satu set dari tiga karya yang berhubungan dan secara sengaja dibuat untuk dipajang secara berdampingan. |
More We, Less Me menjadi salah satu kreasi yang paling banyak dikunjungi dan menjadi objek foto para pengunjung. Itu tak mengherankan, karena dalam tiga salib terpajang ketiga 'tubuh' seniman Indonesia yang menciptakan instalasi unik ini, yakni Febie Babyrose, Herbert Hans, dan Ruddy Hatumena yang tergabung dalam TROMARAMA.
More We, Less Me merupakan kreasi triptych atau satu set dari tiga karya yang berhubungan dan secara sengaja dibuat untuk dipajang secara berdampingan. Setiap salib berukuran 236 x 190 x 10 sentimeter. Di dalam ketiga salib itu terdapat hasil X-ray tubuh ketiga artis yang ditampilkan dengan indah menggunakan rangkaian
plexi-glass,
stainless steel, dan
LED strip.
TROMARAMA menciptakan kreasi ini pada 2011 silam dan menjadi koleksi Umahseni Gallery, Indonesia.
5. English Deleted (Moffat Takadiwa, Zimbabwe)
 Foto: CNN Indonesia/Resty Armenia Instalasi abstrak ini dibuat oleh seniman asal Zimbabwe, Moffat Takadiwa. |
English Deleted merupakan instalasi abstrak yang cukup mengejutkan di Art Stage. Dari kejauhan, karya ini terlihat seperti sarang serangga raksasa khas Afrika di pinggiran Zimbabwe.
 Foto: CNN Indonesia/Resty Armenia Instalasi ini terdiri dari ribuan tombol kibor komputer dan laptop. |
Namun, jika melihatnya lebih dekat dan lebih jeli, sesungguhnya itu adalah kumpulan tombol dari kibor komputer atau laptop yang sudah tidak berfungsi. Ribuan tombol itu disusun sedemikian rupa hingga menempel satu dengan yang lain dan beberapa di antaranya terlihat menggantung bebas.
Koleksi privat Jim Amberson ini dibuat artis Zimbabwe, Moffat Takadiwa pada 2016. Karya ini dipamerkan dalam ruangan Collector's Stage 2017: Expose Artworks.
(res/rsa)