Dion Wiyoko Berharap Kembalinya Toleransi di Hari Imlek

Agniya Khoiri | CNN Indonesia
Sabtu, 28 Jan 2017 09:15 WIB
Dion Wiyoko pernah merasakan menjadi etnis minoritas di lingkungan tinggalnya, dan trauma akan itu. Semakin dewasa ia menyadari, yang penting adalah toleransi.
Dion Wiyoko ikut merayakan Imlek setiap tahun. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebagai keturunan etnis Tionghoa, aktor Dion Wiyoko menganggap perayaan Imlek seperti tradisi yang mengalir di keluarganya. Setiap tahun Dion memanfaatkan waktu tersebut untuk bersilahturami dengan kerabat yang jarang ditemuinya di tengah kesibukan.

"Sekadar kumpul-kumpul, makan-makan. Dan karena saya belum berkeluarga jadi kadang masih dapat angpao dari om dan tante, walaupun sekarang sudah enggak mengharapkan ke arah sana," kata Dion saat ditemui usai penayangan perdana film terbarunya, The Last Barongsai.

Bagi Dion, merayakan Imlek di keluarganya sama seperti umat Muslim merayakan Lebaran atau umat Kristiani merayakan Natal. Ada unsur kepercayaan, ada pula tradisi bersama.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Imlek itu tradisi orang Indonesia, sama kayak Lebaran dan Natalan, yang terpenting itu toleransi," katanya. "Buat saya tidak ada yang spesifik karena sudah menjadi generasi ke-sekian, sehingga tidak paham banget [tradisinya], tapi kalau kumpul-kumpul ikuti saja.”


Sejak kecil, Dion mengaku tinggal di lingkungan yang etnis Tionghoanya menjadi minoritas. Ia sempat mengalami trauma karena perlakuan buruk yang didapat. Tapi seiring ia dewasa, Dion akhirnya menyadari bahwa yang diperlukan antaretnis adalah toleransi.

"Itu penting dan saya mendukung masalah toleransi beragama ini. Kebetulan punya bakat dan passion di akting, jadi saya berkarya di film bagaimana menyebarkan toleransi beragama.”

Seperti diketahui, beberapa waktu belakangan Dion terlibat dua film yang mengangkat tentang kehidupan keluarga etnis China: Cek Toko Sebelah dan The Last Barongsai.

Film terbarunya The Last Barongsai mengangkat tentang warisan budaya China, yakni barongsai dengan nilai-nilai kebhinekaan. Tapi bukan hanya dari film Dion dapat nilai itu.


Tim produksi yang bukan beretnis China tapi mau memproduksi cerita itu, baginya sudah menunjukkan kebhinekaan. "Om Rano [Karno] dan yang lainnya mau memproduksi film yang dekat dengan tradisi China Benteng, tapi mereka bukan dari China Benteng,” katanya.

“Ini menjadi kebanggaan kita semua," ia melanjutkan.

Dalam keluarga pun, Dion merasakan kebhinekaan. Mendiang ayahnya merupakan seorang mualaf. Meski begitu, keluarganya tetap menghargai. Tumbuh dengan kesadaran akan toleransi sejak dini, Dion mengaku kecewa terhadap kondisi yang ada di Indonesia belakangan ini.

"Sekarang saya merasa kecewa dengan toleransi, tapi saya pun optimistis Indonesia bisa kembali lagi, toleransi beragama seharusnya ada," pungkasnya. (rsa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER