Literatur Asing Akhirnya 'Berlidah' Kurdi

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Senin, 06 Feb 2017 12:38 WIB
Selama ini, masyarakat Suriah tidak bisa membaca literatur dari bahasa mereka sendiri, Kurdi. Tapi ada proyek baru dua bulan terakhir, bernama Hunar.
Masyarakat Suriah kini bisa membaca buku dengan bahasa mereka sendiri. (Ilustrasi/Pixabay/condesign)
Jakarta, CNN Indonesia -- Selama ini masyarakat Suriah tidak boleh menikmati literatur dengan bahasa mereka sendiri, Kurdi. Tapi kini Abdo Shehu bisa duduk di kantornya di Qamishli sembari dikelilingi cetakan pertama novel asing yang ‘berbicara’ bahasa Kurdi. Snow, judul novel itu.

Itu merupakan novel karangan penulis Perancis, Maxence Fermine. Di masa sebelumnya, saat kebijakan baru soal penerjemahan diterapkan, buku itu hanya bisa dinikmati dengan bahasa aslinya. Tapi kini itu termasuk kelompok pertama proyek penerjemahan karya asing.

Proyek itu sendiri bernama Hunar. Dalam bahasa Kurdi, itu artinya buah delima. Proyek itu baru ditelurkan dua bulan lalu, yang seperti dikutip dari AFP, ditujukan menerjemahkan literatur asing ke bahasa Kurdi untuk mayoritas masyarakat di berbagai pelosok Suriah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Shehu, pemuda 29 tahun, merupakan salah satu orang yang terlibat dalam proyek Hunar. Ia senang kini masyarakat Suriah bisa menikmati novel dan karya lain dengan bahasa sendiri.


Selama bertahun-tahun, masyarakat pengguna bahasa Kurdi terisolasi dari karya asing. Bukan hanya literatur tidak diterjemahkan, mereka juga tak bisa mempelajarinya di sekolah.

Masyarakat asli Suriah memang seperti ingin ‘dihilangkan.’ Populasi mereka, yang hidup sebelum perang baru di Suriah masa kini, tinggal sedikit. Tak sampai 10 persen. Bukan hanya mengisolasi mereka dari dunia luar, penguasa juga mencabut kewarganegaraan mereka.

Shehu pernah ketahuan membaca buku berbahasa Kurdi. Ia berakhir di penjara.

“Saya menghabiskan tiga bulan di penjara di Damaskus pada 2009, dan diancam diusir dari universitas, karena saya ketahuan membaca buku bahasa Kurdi,” katanya menceritakan.

“Bahasa dan budaya kami dilarang oleh partai penguasa Baath, yang ingin mengenyahkan Kurdi dari budaya mereka,” Shehu melanjutkan. Kini, partai Baath tidak lagi terlalu berkuasa di mayoritas daerah di Suriah, baik di Utara maupun Timur Laut. Suriah pun lebih ‘merdeka.’


Bahasa lokal dipelajari di sekolah, nama-nama jalan dan desa serta kota dikembalikan ke bahasa Kurdi. Buku-buku pun mulai diterjemahkan ke ‘lidah’ masyarakat setempat.

Selain novel Snow, Hunar sudah menerjemahkan tiga proyek lain, termasuk kumpulan puisi dari Mesopotamia kuno, The Epic of Gilgamesh. Karya itu merupakan salah satu penulisan pertama yang dikenal di dunia, dan berasal dari Arab. Selama ini bahasanya Inggris.

The Epic of Gilgamesh akan segera diterbitkan. Hunar kemudian lanjut menerjemahkan karya lain, yang dipilih oleh komite khusus. Pemilihan dilakukan berdasarkan beberapa kriteria, salah satunya apakah karya itu nantinya bakal relevan dengan kehidupan masyarakat Kurdi.

Hunar merupakan organisasi nonprofit yang didanai oleh penyumbang. Penerjemahnya adalah para sukarelawan. Mereka rela bekerja demikian karena ingin masyarakat Kurdi lebih terbuka. Hasil terjemahan bahkan dijual murah. Snow hanya berharga satu dolar per buku.


Menurut Shehu, itu cukup untuk menutup biaya percetakan. Penerjemah tak perlu dibayar.

Proyek itu berjasa besar. Bukan hanya membuka pintu dan jendela lebar-lebar bagi masyarakat Suriah, serta mendorong penulis berkarya dengan bahasa lokal. Hunar juga menjaga bahasa Kurdi dari kepunahannya sendiri. “Kurdi tidak pernah memeroleh hak budaya, sosial dan politik mereka sepanjang sejarahnya di Timur Tengah,” kata Shehu prihatin. (rsa)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER