Jakarta, CNN Indonesia -- Jazz tidak lagi hanya bisa dinikmati di restoran mahal atau konser megah. Di Indonesia, jazz mulai ‘blusukan.’ Gelaran jazz diadakan di puncak gunung, pantai, sampai tempat-tempat bersejarah. Penggemarnya pun bukan lagi kalangan tertentu, orang tua atau kaya.
Sejak beberapa tahun belakangan, jazz mulai membumi. Konser yang mengusung nama ‘jazz’ di Jakarta pun mulai menjamur. Sebut saja Jak Jazz, Java Jazz, Jazz Goes to Campus, Ngayogjazz, Jazz Gunung, dan lainnya. Pengisi maupun harganya pun makin bersaing.
Penggemar jazz—maupun nonjazz—di Indonesia diuntungkan dengan itu. Mereka tak lagi perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk menikmati musik yang berakar dari budaya masyarakat Afrika-Amerika itu. Flipit Indonesia membuat riset soal harga konser jazz di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada sekitar 16 konser jazz yang diteliti, tujuh di antaranya digelar nyaris bersamaan: di bulan Agustus. Festival itu tersebar, bukan hanya di Jawa tapi juga Kalimantan dan Bali.
Dari hasil riset diketahui, festival tiket termurah adalah Ngayogjazz dan Solo City Jazz. Tidak perlu membayar tiket masuk untuk keduanya. Festival dengan HTM, paling murah adalah Jazz Goes to Campus. Penonton hanya perlu merogoh kocek Rp54 ribu untuk menikmatinya.
Sementara festival jazz dengan harga tiket termahal adalah Jaza Jazz, yang tahun ini diselenggarakan 3 hingga 5 Maret di Kemayoran. Butuh sekitar Rp769 ribu untuk masuk. Festival dengan tiket termahal disusul Ijen Summer Jazz dan Jazz Pinggir Kali.
Masing-masing butuh Rp750 ribu dan Rp500 ribu hanya untuk tiket masuk.
Jazz Pinggir Kali agak mahal karena harga itu termasuk tenda untuk
camping. Harga tiket yang diteliti itu, hanya untuk satu orang dan sudah termasuk pajak, tanpa promosi.
Banyak yang memengaruhi harga tiket. Faktor paling utama adalah artis yang dihadirkan. Java Jazz mahal, karena biasanya banyak mengusung artis internasional. Tahun ini saja, mereka punya Elliott Yamin, Harvey Mason, Incognito, NE-YO, Nik West, dan banyak lagi.
Java Jazz bahkan menghadirkan peraih Grammy Awards seperti Sergio Mendes dan Chick Corea.
Direktur Java Jazz Production Dewi Gontha mengatakan, ada seribu musisi yang mengisi 14 panggung Java Jazz tahun ini, Sebanyak 700 di antaranya lokal dan 300 internasional.
Sementara festival yang tidak memungut bayaran untuk tiket atau menjualnya dengan harga miring, biasanya hanya punya musisi dalam negeri. Jumlahnya pun tidak membeludak. Namun, bukan berarti itu juga tidak menarik. Musisi jazz dalam negeri sudah banyak yang bagus. Sebut saja Dwiki Dharmawan atau IDang Rasjidi, yang sering muncul di festival jazz.
Hanya saja, yang patut menjadi pertanyaan, apakah dengan makin menjamurnya festival jazz—yang menimbulkan kompetisi di penampil maupun harga tiket—membuat gelaran acara itu tetap berkualitas jazz, atau sekadar mengusung nama ‘jazz?’ Jaza Jazz pun, beberapa tahun belakangan hanya mempertahankan beberapa musisi jazz. Lainnya diisi musisi-musisi pop.
Tahun ini bahkan ada musisi hip hop seperti kelompok musik Iwa K yang jadi penampil.
Dengan nama jazz dan harga yang makin membumi, masihkah festival itu bernapaskan jazz?
(rsa)