Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak peduli setua apa pun sebuah dongeng, ia akan tetap terasa abadi di hati mereka yang menyukainya. Termasuk bila dongeng itu diubah dalam versi lain dan penambahan kisah di dalamnya. Itulah yang terjadi dengan
Beauty and the Beast.
Mengangkat kembali kisah lama Belle dengan sang makhluk buruk rupa, Beast,
Beauty and the Beast versi
live action yang dibintangi oleh Emma Watson dan Dan Stevens digarap oleh Bill Condon.
Disney jagonya mengangkat kembali dongeng klasik. Sejak
Alice in Wonderland (2010), mereka gencar menggarap ulang kisah dongeng mereka yang beberapa dekade lalu sempat terkenal dan melegenda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya, pada 2015 lalu ketika Disney mengangkat dongeng sejuta umat,
Cinderella, dalam bentuk
live-action. Kisah yang hampir dibaca setiap anak manusia ini terinspirasi dari film garapan Disney dengan judul sama pada 1950.
Film lebih dari 60 tahun lalu itu disebut sebagai salah satu film animasi terbaik Amerika sepanjang sejarah.
Dan dengan garapan teknologi canggih,
Cinderella pada 2015 berhasil mendulang pundi-pundi bagi Disney dari mereka yang rindu akan kisah cinta naif serta kebaikan yang selalu menang melawan kejahatan.
Cinderella (2015) meraup US$543,5 juta dari biaya produksi yang hanya US$95 juta.
Disney masih terus berharap dapat meraup untung dari mereka yang ingin nostalgia dengan kenangan masa kecilnya. Setelah mendulang untung dari
The Jungle Book (2016), Disney kembali dengan Emma Watson untuk menjadi Putri Belle di
Beauty and the Beast (2017).
Tidak banyak yang berubah dari alur film garapan Condon itu. Semua orang bahkan sudah bisa menebak hingga akhir cerita akan seperti apa.
Namun justru 'ketahuan' dan nostalgia masyarakat akan film itu
lah yang diincar Disney. Mereka ingin penontonnya mengenang kembali buaian masa kecil saat animasinya dirilis 1991 lalu.
Dengan gubahan serta modifikasi sedikit di sana-sini,
foila!, kisah Belle dan Beast menjadi lebih terasa segar meski nuansa klasik masih kental.
Nuansa klasik yang kental dapat dirasakan mulai dari urutan lagu, gaya busana, gaya rambut, dekorasi, hingga dialek yang digunakan para pemain. Disney berusaha membuatnya seautentik mungkin dengan film versi lawas dan kisah aslinya yang berasal dari Perancis.
 Foto: Courtesy Walt Disney Emma Watson saat menjadi Belle dalam Beauty and the Beast. |
Gubah KarakterPun dengan karakter utama, Putri Belle. Disney memilih Emma Watson sebagai pemeran putri cantik tersebut. Kesamaan karakter mereka bisa jadi alasan mengapa Watson dianggap yang lebih pantas menjadi Belle.
Watson menjadi Belle tanpa perlu usaha keras. Keduanya sama-sama pencinta buku, pejuang kebebasan bagi perempuan, keras kepala, mandiri namun juga dapat tampil cantik bak seorang putri.
Emma Watson nyaris bisa menjadi sosok Belle yang sempurna selain bagi beberapa penonton mungkin akan mengenang dia tetap sebagai Hermione Granger, terutama eskpresi ketika Watson melihat buku.
Topik karakter termasuk isu LeFou bersambung ke selanjutnya...
Peran maksimal juga dirasakan dari sosok sang antagonis, Gaston yang diperankan oleh Luke Evans. Dalam film animasi, Gaston tidak terlalu menonjol bila dibanding Beast.
Namun dalam film ini justru Evans menarik perhatian dengan totalitas menjadi sosok tamak, licik, dan manipulatif. Evans sungguh menghidupkan Gaston yang tidak terlalu terlihat saat versi animasi.
Berkebalikan dengan Gaston, Beast justru dinilai lebih menonjol saat masih dalam versi animasi. Tampilan
live action yang lebih mengerikan dan nyata tampaknya tidak dapat menolong. Beast dalam versi
live action ini tampak terlalu buas.
Karena sudah diketahui jalan ceritanya tak serta merta membuat Stephen Chbosky dan Evan Spiliotopoulus selaku pembuat naskah kehilangan ide. Mereka tetap memodifikasi beberapa bagian dari versi animasi dalam film
live action ini.
Bagi yang menonton versi animasi, mungkin akan baru terasa perbedaannya saat menyimak betul setiap bagian film live action ini dan konflik yang terjadi di dalamnya.
Termasuk urusan karakter, penulis naskah beserta Bill Condon juga memodifikasi sosok LeFou yang bukan apa-apa di film animasi menjadi bahan berita media dalam beberapa waktu terakhir. Apalagi kalau bukan soal orientasi seksual tokoh tersebut.
'Ke-gay-an' LeFou
Topik orientasi seksual ini sulit untuk tidak dibahas, mengingat banyak orang yang penasaran dengan LeFou hasil modifikasi Disney ini. Namun di sisi lain, modifikasi -terutama terkait isu sensitif seperti LGBT- masih menjadi momok di banyak masyarakat di dunia.
Karakter LeFou dalam
live action memang menampilkan gerak-gerik yang mengarah soal karakteristik seorang gay, walaupun tidak dapat disamaratakan karakter tersebut dengan keseluruhan orang gay di dunia.
Namun pancaran mata, percakapan antara LeFou dengan karakter lain yang tersirat, serta beberapa adegan singkat cukup menegaskan orientasi dari tokoh ini. Pun adegan yang muncul sangat ringan dan jauh dari kategori dewasa.
 Foto: Courtesy Walt Disney Luke Evans berhasil menghidupkan sosok Gaston. |
Dan mengingat karakter seperti ini memang nyata ada di tengah masyarakat, rasanya berlebihan bila disebut sebagai propaganda seperti yang banyak disuarakan kelompok konservatif.
Terlepas dari orientasi LeFou, peran sahabat-dan-asisten Gaston ini jadi lebih penting dibanding di versi animasi. Pun dengan konflik batin serta tindakan LeFou yang akan mengejutkan di dalam film.
LeFou menjadi pembeda dan pewarna dalam kisah
Beauty and the Beast. Tanpa sosok gubahan baru ini, film tersebut mungkin akan 'datar' dan berakhir seperti yang sudah diperkirakan orang.
Josh Gad pun tampak santai memerankan LeFou, tanpa harus terbebani dengan masalah orientasi ketika ia harus memerankan sosok gay.
Gad membuat 'ke-gay-an' LeFou menjadi sebuah unsur segar dalam film tanpa harus mendiskriminasi pilihan orientasi seksual seseorang, suatu cara yang patut dicontoh banyak orang di Indonesia.