Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Ada yang tidak biasa jelang rilis film terbaru Disney,
Beauty and the Beast. Publik gagal fokus dari kisah dongeng klasik itu. Sorotan utamanya justru pada konten gay, kisah soal LeFou yang jatuh hati pada Gaston.
Apa salah LeFou sampai membuat film dengan bujet US$160 juta itu banyak mendapatkan protes?
Media sosial diramaikan beragam protes dari masyarakat, sementara media ribut mengabarkan boikot tokoh agama, larangan penayangan dan pemotongan adegan yang dilakukan sebagian negara, seperti Malaysia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semua dengan alasan bahwa film Disney
live action yang diadaptasi dari animasi klasik tahun 1991 itu, mengandung konten gay yang dianggap propaganda, serta bisa ’meracuni' anak-anak. Alasan klasik.
Di sisi lain, kondisi ini juga menggambarkan fenomena terkini masyarakat global. Mereka masih khawatir akan segala hal tentang homoseksual, LGBT, dan sejenisnya. Dengan kata lain, dunia masih mengalami homofobia.
 Foto: Courtesy Walt Disney Beauty and the Beast menuai kontroversi akibat keberadaan sosok LeFou versi baru. |
Masyarakat tampaknya masih ketakutan bahwa segala adegan yang berkaitan dengan homoseksualitas atau LGBT akan membuat anak-anak mereka tumbuh menjadi seperti apa yang digambarkan dalam film tersebut.
Padahal, menonton pun belum. Pasalnya, film ini baru tayang serentak pada 16 Maret waktu Amerika Serikat atau 17 Maret di belahan Asia. Dari mana mereka tahu kalau konten gay di
Beauty and the Beast akan 'meracuni' anak-anak?
Penyebabnya bisa jadi karena banyak orang masih belum memahami dengan tepat tentang kelompok LGBT, orientasi seksual, keberagaman dalam masyarakat, hingga bagaimana menonton film dengan bijak.
Kekurangan pengetahuan ini yang mendorong masyarakat untuk membabi-buta menilai tanpa memandang secara objektif.
Masalah homofobia memang tidak bisa dilepaskan dari bahasan LGBT, apalagi bila masalah orientasi seksual yang berbeda dari kebanyakan orang ini masuk ranah publik.
Namun itulah film. Sebagai bentuk karya seni dan buah dari kebudayaan yang terjadi di suatu era, film menggambarkan kondisi realitas dari masyarakat, terlepas penonton menerimanya atau tidak.
 Untuk bisa tayang di depan publik secara legal di bioskop, sebuah film harus melalui proses sensor. (Joshua_Willson/Pixabay) |
Tapi, isu sensitif itu juga tak lantas bebas diumbar. Ada pembatasan berlapis, baik berupa adaptasi konten yang dibuat lebih lembut dan tidak vulgar, sampai penggolongan penonton yang diperbolehkan menonton film tersebut.
Bila itu dirasa tidak cukup untuk 'melindungi' masyarakat dari imaji sineas, ada peraturan yang bernama sensor. Bahkan, di beberapa negara, sensor ini bisa sangat ketat sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara tersebut.
Tapi, pada akhirnya semua kembali pada penonton. Mereka yang bisa memutuskan hendak menonton suatu film, dengan atau tanpa sensor. Caranya beragam, mulai dari menonton secara daring atau terbang ke negara tetangga yang punya aturan lebih longgar.
Dengan kata lain, perlu ada sensor diri dari masyarakat itu sendiri. Sudah waktunya para orang dewasa, terutama orang tua, peduli akan konten yang ada dalam film dan peruntukkan film tersebut.
Homoseksualitas adalah bagian dari masyarakat dan mendiskriminasi mereka yang memiliki perbedaan orientasi bukan hal yang tepat untuk dicontohkan kepada anak-anak sebagai bentuk 'perlindungan'.
Yang dibutuhkan anak sebagai perlindungan adalah peran orang tua yang bisa membekali dengan bimbingan dan kasih sayang, hingga mereka bisa jadi orang dewasa yang toleran dan bertanggung jawab.
[Gambas:Youtube] (end/les)