Jakarta, CNN Indonesia -- Bukan cuma sebagai sebuah kebiasaan yang berakar dalam kehidupan masyarakat, pantun dinilai memiliki keunikan dan kecerdasan sebagai buah peradaban maju masyarakat Melayu.
Akademisi ilmu budaya sekaligus peneliti pantun yang juga ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Indonesia Pudentia MPSS menjelaskan alasan pantun adalah sebuah produk budaya yang unik.
Keunikan dalam pantun terlihat dalam sajak
a-b-a-b, yang mana dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris terakhir adalah isi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terinspirasi dari lingkungan, sampiran yang terkandung dalam pantun tidak dibuat secara sembarangan, melainkan berhubungan erat dengan isi dan menonjolkan kecerdasan berbahasa.
“Dalam sampiran itu tersimpan segala pengetahuan tentang Melayu yang memperlihatkan kecerdasan luar biasa berekspresi melalui bahasa, biasanya menggabungkan ekologi lingkungan,” kata Pudentia kepada
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Pudentia mencontohkan pantun pusaka yang terkenal seperti:
Kalau ada jarum yang patah,Jangan disimpan dalam peti,Kalau ada kata yang salah,Jangan disimpan dalam hati.Dia menjelaskan kata ‘
jarum’ digunakan karena merupakan benda yang tajam, sama seperti kata-kata yang dapat menyakiti orang lain.
Pun jarum yang sudah patah tidak bisa lagi dikembalikan, seperti kata-kata yang sudah dikeluarkan manusia.
Pudentia menjelaskan, makna '
jarum jangan disimpan di dalam peti' digunakan karena pada umumnya peti sulit dan jarang dibuka.
Ungkapan ini sama seperti hati yang sulit diperbaiki, sehingga pantun itu menganjurkan bila ada kata-kata yang salah, ada baiknya tidak dimasukkan ke hati.
“Jadi bukan cuma
a-b-a-b yang hanya dipaksa supaya menyambung. Tapi sebetulnya berisi pengetahuan mengenai alam dan lingkungan sehingga menyimpan kekayaan tradisi, kearifan lokal," kata Pudentia.
"Kombinasi itu yang jarang diperhatikan saat ini,” lanjutnya.
Selain memerlukan pemikiran mendalam, pantun Melayu juga mengandung filosofi tentang acuan, pegangan, dan landasan hidup orang Melayu seperti berbalas budi serta rendah hati.
Selain menyampaikan pesan, menurut Pudentia, pantun juga mengasah kecerdasan dan perasaan untuk peka dengan lingkungan sekitar.
Pantun diperkirakan berkembang dari Melayu pada abad ke-15 Masehi dan telah menyebar ke berbagai kawasan. Hingga saat ini, kata Pudentia, penelitian menunjukkan pantun digunakan dalam 35 bahasa dengan berbagai ketentuan.
“Temuan ini juga khas, saya kira tidak ada yang seunik pantun,” ujar Pudentia yang mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu.
Belajar dari MalaysiaKeunikan dan khazanah ilmu pengetahuan yang ada dalam pantun inilah yang membuat tradisi lisan ini diajukan ke UNESCO untuk jadi warisan dunia takbenda pada akhir bulan lalu (31/3).
Kini, badan PBB itu sedang menyeleksi dan menilai dossier atau dokumen yang berisi data penominasian yang diajukan negara serumpun, Indonesia dan Malaysia.
Pudentia menjelaskan dalam penyusunan dokumen itu tak ditemukan kesulitan berarti selain masalah keuangan yang dapat teratasi dengan bantuan sponsor.
Data-data tantang pantun juga dapat ditemui dengan mudah di Riau dan Kepulauan Riau, dua provinsi dengan budaya Melayu yang kuat di Indonesia.
Setidaknya sudah lebih dari 300 ribu bait pantun pusaka yang telah terdata dan jumlah itu kemungkinan bakal terus bertambah.
Dengan upaya memasukkan pantun sebagai warisan budaya bersama dengan Malaysia, Pudentia berharap pantun akan terus dilestarikan. Selain itu, ia berharap Indonesia banyak belajar dari Malaysia dalam menjaga budaya.
“Malaysia sangat menjaga muruah atau harga diri, dalam pengertian mereka malu kalau sampai dianggap negaranya tidak menjaga warisan termasuk pantun," kata Pudentia.
"Sementara Indonesia bukan tidak menjaga muruah, tetapi mungkin banyak urusan lain sehingga hanya orang tertentu saja yang peduli,” lanjutnya.