Jakarta, CNN Indonesia -- Penyair kondang Sapardi Djoko Damono mengakui betapa pentingnya karya-karya Chairil Anwar dalam perkembangan puisi modern di Indonesia.
Ia berpandangan, sang ‘Binatang Jalang’ telah mengubah gaya pengucapan lama dengan yang sama sekali baru hanya dalam rentang waktu yang tidak lama.
Sapardi menjelaskan, sebelum muncul Chairil, tepatnya pada zaman sebelum perang, Indonesia sudah memiliki beberapa penyair ulung yang masuk dalam Angkatan Pujangga Baru. Angkatan penyair itu antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angkatan ini, kata Sapardi, memiliki gaya puisi yang khas, yakni menggunakan Bahasa Melayu dengan tema puisi yang kurang lebih sama, yakni soal perjuangan dan, sesekali, romansa.
Chairil kerap memuji karya-karya Amir Hamzah. Ia pun berteman dekat dengan kritikus sekaligus editor yang populer di kalangan Angkatan Pujangga Baru, HB Jassin. Meski demikian, cara penulisan Chairil tetap berbeda dengan para pujangga tersebut.
“Puisi dan sastra pada umumnya masalah bahasa ya, masalah bagaimana sastrawan itu menggunakan bahasa. Kalau bahasanya baru, dia mendobrak, bukan puisinya, tapi bahasanya,” ujar Sapardi saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon beberapa saat lalu.
Ia menyimpulkan, “Chairil besar karena mendobrak pengucapan pada zaman itu. Dia mempunyai gaya baru dalam penulisan puisi dan gaya itu diperlukan untuk mengungkapkan keadaan diri sendiri dengan zaman waktu dia hidup. Karena zaman waktu dia hidup kan berbeda dengan zaman waktu perang.”
Sapardi beranggapan, gaya pengucapan Chairil berbeda dengan para Pujangga Baru karena setelah ada peristiwa perang, ia dan penyair seangkatannya memiliki cara berpikir dan lingkungan yang berbeda. Namun, Chairil lebih unggul dari yang lain karena ia tidak lagi menggunakan bahasa lama.
“Lingkungan Chairil beda, tapi puisinya tentang cinta, kerinduan, kemarahan. Itu sama saja. Tapi cara memprotes dan menyampaikan cinta itu sangat berbeda. Chairil menggunakan bahasa baru, bukan dari bahasa buku, melainkan bahasa lisan sehari-hari yang terus berkembang,” katanya.
Gemari Syair Romantis Chairil Sapardi mengaku suka dengan puisi-puisi Chairil yang ditulis sekitar tahun 1949, menjelang ajalnya tiba. Menurutnya, karya itu sangat bagus dan tidak bisa ditiru oleh penyair mana pun. Ia pun memfavoritkan syair-syair romantis Chairil, seperti
Derai-derai Cemara dan
Senja di Pelabuhan Kecil.
“Dua syair itu susah dikalahkan, karena cara menyampaikannya susah. Jadi orang harus mencari cara lain, sebab menurut saya mereka tidak akan bisa,” katanya.
Ia menganggap Chairil sangat berbakat dalam menulis berbagai tema dan bisa mencocokkan bahasa mana yang paling pas dengan tema-tema tertentu.
“
Derai-Derai Cemara kan indah sekali sajaknya, sangat tenang dan tidak menunjukkan Chairil yang biasanya disebut kebanyakan bertingkah ‘binatang jalang’ atau pemberontak. Sama sekali berbeda,” ujarnya.