ULASAN SENI

Obrolan Rumah Jompo soal Negeri, Warisan, Utang, dan Korupsi

CNN Indonesia
Senin, 14 Agu 2017 03:21 WIB
Lakon ke-149 dari Teater Koma berjudul Warisan, bercerita tentang si kaya dan si miskin di sebuah rumah jompo dengan jurang pemisah nan terjal.
Lakon Warisan dari Teater Koma memperbincangkan negara, utang dan korupsi. (CNN Indonesia/ Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Senam pagi bukan hanya mengawali hari para penghuni rumah jompo di pentas terbaru Teater Koma. Kegiatan itu juga membuka lakon yang diberi judul Warisan itu.

Terlihat perbedaan yang kentara di antara para penghuni rumah jompo. Ada sebagian yang mengenakan pakaian olahraga dengan seragam, ada pula yang hanya berbusana lusuh.

Perbedaan itulah inti cerita Warisan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diceritakan, dahulu rumah jompo itu menjadi kebanggan kota. Yang tua dan terlantar ditampung di sana. Banyak orang dengan senang hati menyumbang.

Obrolan Rumah Jompo soal Negeri, Warisan, Utang, dan KorupsiTeater Koma menyuguhkan pentas berjudul Warisan. (CNN Indonesia/ Hesti Rika)
Namun delapan tahun kemudian, rumah jompo itu berubah. Mereka mulai menampung orang-orang kaya yang mampu membayar mahal. Kelamaan, ada jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

Sebuah tembok tinggi bahkan dibangun, selayaknya pemisah Berlian barat dan timur.

Di tempat orang kaya, ada Miranti dan Munan yang punya hubungan asmara. Sama halnya dengan Yula dan Kadirun. Ada pula Sakiro dan Subrat yang selalu membahas soal partai politik, korupsi, utang, dan kepemimpinan presiden.

Negeri yang dibahas Sakiro dan Subrat bernama Negri Hindanasasa, namun penggambarannya mirip dengan Indonesia. Negeri itu punya utang beratus-ratus triliun, misalnya.

Pentas Warisan membedakan si kaya dan si miskin di sebuah rumah jompo.Pentas Warisan membedakan si kaya dan si miskin di sebuah rumah jompo. (CNN Indonesia/ Hesti Rika)
Dari perbincangan itu muncul pertanyaan: apakah warisan negeri ini hanya utang dan korupsi?

Masih dalam tempat orang-orang kaya, ada penulis bernama Kirdjomuldjono atau Samana Sama. Dia memilih tinggal di sana untuk mendapat ketenangan menulis buku terbarunya.

Namun kenyataannya justru bertolak belakang. Ia terganggu oleh adanya Munan yang selalu berteriak soal anak sulungnya. Dia berteriak, memaki-maki, karena putra sulungnya korupsi.

Tapi ketika Munan tidak berisik, Kirdjo juga terganggu. Teriakan itu seakan menjadi candu, ia pun menunggu teriakan itu sampai harus menyiksa dirinya sendiri agar dapat menulis.

Di rumah jompo di lakon Warisan, orang sibuk berbincang soal warisan negara.Di rumah jompo di lakon Warisan, orang sibuk berbincang soal warisan negara. (CNN Indonesia/ Hesti Rika)
Sementara di tempat orang-orang miskin, penghuninya tidak terurus. Mereka mencoba bertahan tapi tak sanggup karena tempatnya semakin sempit. Jatah makanan pun dikurangi. Yang tersisa hanya perasaan pasrah.

Seperti biasa, pentas Teater Koma selalu bagaikana refleksi maupun kritik atas kejadian sebenarnya di Indonesia. Kondisi negeri yang dibahas di rumah jompo kali ini pun menjadi wujud kritik Teater Koma akan hal-hal yang tak lagi bisa dibicarakan di luar sana.

Lakon ke-149 dari Teater Koma ini masih menjadi bagian perayaan hari jadi mereka ke-40. Lakon yang mulai dipertunjukkan Kamis (10/8) malam di Gedung Kesenian Jakarta ini menjadi wajah baru Teater Koma yang tak menampilkan ilustrasi musik maupun tarian khasnya.

Kendati kurang ‘hidup’ tanpa musik dan tarian khas Teater Koma, pertunjukan ini tetap punya ‘kekuatan.’ Mereka tampaknya memang lebih ingin menjadi 'suara' untuk mengkritik keadaan Indonesia belakangan ini.


Meski tak ada musik, ragam karakter di pentas Warisan tetap sukses memberi bumbu khas kehidupan sosial masa kini. Mulai kumpulan lansia yang bergosip, seseorang yang menyedihkan dan mengubah dirinya menjadi badut agar dianggap lucu, sampai satpam yang bawel. Pertikaian dan sikap nyinyir antartokoh pun membuat pentas jadi ‘hidup.’

Dari refleksi masing-masing karakter yang dibawa Nano Riantiarno selaku sutradara dan penulis, penonton bisa menangkap pesan tersendiri. Dialog-dialog yang ditampilkan pun sarat kritik dan membuat penonton berpikir. Itu didukung set panggung yang apik.

Sayangnya, pentas yang berlangsung selama tiga jam dan dibagi dalam dua babak itu menjadi agak membosankan saat mulai memasuki babak ke-dua. Ada beberapa pengulangan yang terasa tak perlu.

Seperti biasa, meski tanpa tarian khas Teater Koma, pentas kali itu tetap sarat kritik sosial.Seperti biasa, meski tanpa tarian khas Teater Koma, pentas kali itu tetap sarat kritik sosial. (CNN Indonesia/ Hesti Rika)
Namun secara keseluruhan, Nano yang memang begitu detail cukup memukau dengan lakon ini. Apalagi ia hanya menyiapkan Warisan selama empat bulan, dengan cerita baru. Berbeda dengan lakon-lakon sebelumnya yang dipentaskan ulang dari sejumlah pentas ikonis Teater Koma.

Lakon Warisan dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta setiap hari, 10 sampai 20 Agustus 2017, pukul 19.30 WIB kecuali Minggu dan libur nasional, yang pentas pukul 13.30 WIB. Tiketnya dijual mulai Rp80 ribu sampai Rp400 ribu rupiah.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER