Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah dua tahun tak merilis karya baru, Andrea Hirata kembali lewat novel fiksi bertajuk
Sirkus Pohon. Ini merupakan buku ke-10 Andrea sejak pertama kali muncul lewat
Laskar Pelangi pada 2005.
Kepada
CNNIndonesia.com, penulis asal Belitung ini mengungkapkan bahwa
Sirkus Pohon adalah novel terbaik yang pernah dibuatnya.
"Buku ini memberi saya kesan 'this is it', memberi saya kesan apa yang ingin saya sampaikan selama ini sebagai seorang penulis, memberi saya kesan sudah lama saya ingin menulis seperti ini, hal ini," kata Andrea.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andrea menjelaskan, novel yang dibuat secara trilogi ini memiliki banyak perbedaan jika dibandingkan dengan karya terdahulu.
Dari segi waktu misalnya, Andrea membutuhkan waktu yang lama untuk riset dan penulisan
Sirkus Pohon.
Andrea bahkan melakukan riset hingga ke Tahiti tentang pohon delima. Untuk riset saja, Andrea mengaku memakan waktu sampai empat tahun. Sedangkan proses menulisnya membutuhkan dua tahun.
"Buku yang ke-10 ini satu-satunya novel yang saya tulis paling lama, ini dua tahun lebih saya menulisnya. Kalau novel lain itu cepat. Saya nulis tidak perlu lebih dari sebulan, hanya dalam hitungan minggu; seminggu atau dua minggu," tutur Andrea.
 Terakhir kali, Andrea Hirata merilis Ayah pada 2015 silam. Dua tahun kemudian, ia merilis 'Sirkus Pohon'. (ANTARA FOTO/Regina Safri) |
Andrea mengaku novel ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dibanding novel sebelumnya lantaran gaya berceritanya menggunakan metode yang lebih sulit, bukan lagi komparasi dan analogi seperti sebelumnya, melainkan sintetik.
Hal itu lah yang membuat Andrea butuh waktu dua tahun menghasilkan
Sirkus Pohon agar dapat dengan mudah dipahami pembaca.
"Novel ini tidak bisa digambarkan dengan gamblang karena menulisnya dengan teknik sintesis. Maksud saya adalah ini sudah membandingkan hal-hal yang tidak berhubungan," ujar Andrea.
Sirkus Pohon berkisah tentang seseorang yang baru menyadari kemampuan terpendam yang ia miliki. Cerita ini dibandingkan dengan lingkungan sekelilingnya, salah satunya adalah pohon delima.
Andrea mengatakan ia membandingkan karakter manusia dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Perbandingan itu dibuat artikulatif, sehingga seakan-akan pohon bisa berbicara.
Sirkus Pohon, menurut Andrea, bukan sebuah judul metaforik melainkan harfiah. Andrea menjelaskan buku ini memang menceritakan pohon delima di sebuah sirkus. Dalam pohon itu, ternaungi kisah hidup manusia.
Dalam buku ini, Andrea menyebut pembaca bakal menemukan labirin cerita mulai dari cinta, sirkus, politik dan ada hikayat mitologi pohon delima. Ini merupakan pertama kalinya Andrea berkelakar tentang politik dalam karyanya.
Sirkus Pohon menuntut kelihaian pembaca untuk membuat alur sendiri dari buku ini.
"Pembaca lah yang menentukan, yang membentuk panggung, pentas di dalam kepala mereka sendiri dan menceritakan dengan versi mereka sendiri," tutur Andrea.
Meski demikian, Andrea meminta pembaca untuk tetap teliti dan tidak melewat satu paragraf pun, karena akan menjadi kunci cerita di bagian berikutnya.
 Untuk menggarap 'Sirkus Pohon', Andrea Hirata sampai riset ke Tahiti mempelajari pohon delima. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
"Jadi jika kelewat pada paragraf ke-dua bab ke-dua misalnya, nanti itu akan muncul lagi. Makanya bacanya mending pelan dan jangan melewatkan. Saya sarankan juga pembaca membaca dua kali; pertama baca kisahnya, ke-dua, baca cara berceritanya," ujar Andrea.
Andrea berharap pembaca mampu memetik pesan yang disampaikan dalam
Sirkus Pohon yang masih menyisakan dua novel lagi tersebut. Dia juga mengibaratkan novel ini seperti
Laskar Pelangi, hanya saja dalam versi lain.
"Novel ini merupakan
Laskar Pelangi dalam bentuk lain, bukan dalam karakter utama Ikal, Mahar, dan Lintang. Namun Laskar Pelangi dengan karakter utama sebatang pohon delima," ucap Andrea.