Jakarta, CNN Indonesia -- Keberadaan warisan leluhur yang menjadi cagar budaya seperti artefak, arca dan sejenisnya tidak pernah terlepas dari mereka yang berniat menjual-belikan benda-benda tersebut. Mafia sering disebut berada di balik aksi perdagangan ilegal benda-benda kuno.
Namun anggapan tersebut dibantah oleh Direktur Pelestarian Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harry Widianto. Kepada
CNNIndonesia.com, Harry menyebut yang ada hanyalah sekelompok orang mengutil benda cagar budaya dan menjualnya.
“Yang kerap mengambil benda cagar budaya itu kelompoknya tidak ada yang besar, namun punya hobi mengutil untuk dijual, hanya itu saja. Kalau dikatakan sindikat mafia, tidak. Intinya dibawa ke luar tiba-tiba ada di suatu tempat,” kata Harry.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendapat berbeda datang dari arkeolog Universitas Indonesia Kresno Yulianto. Staf pengajar Departemen Arkeologi UI itu mengakui keberadaan mafia, bahkan pernah berhubungan dengan kelompok di bawah bayang-bayang itu.
"Hanya memang saya pernah mendengar ada mafia-mafia. Mereka sudah siap semuanya, termasuk misalnya ketika ada benda-benda peninggalan di bawah tanah atau di dasar laut," kata Yulianto saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, dalam kesempatan terpisah.
“Mungkin punya jaringan, cara kerjanya saya enggak tahu persis seperti apa karena memang saya tidak fokus ke situ. Hanya memang pernah dihubungi bebarapa kali oleh orang-orang yang nyata mengatakan dia makelar, dalam bayangan saya ada organisasi seperti itu," tutur Yulianto.
Suatu benda peninggalan sejarah dari beratus-ratus tahun lalu menjadi daya tarik bagi kelompok pemburu karena bisa dihargai hingga triliunan rupiah.
 Ilustrasi: Barang bersejarah yang antik dan kuno memiliki daya tarik untuk dijual oleh pihak tertentu. (AFP PHOTO / TAUSEEF MUSTAFA) |
Semakin tua usia sebuah artefak, semakin unik, semakin langka dan kaya akan budaya juga sejarah, maka harga benda itu kian melambung. Harga yang tinggi membuat makelar atau mafia artefak bertaburan.
Meski menolak keberadaan mafia, Harry menyebut pihaknya kerap mendapatkan laporan dari pihak imigrasi tentang temuan barang kuno yang coba dibawa ke luar negeri secara ilegal lantaran tidak memiliki dokumen yang sah.
“Ada memang yang ingin dibawa ke luar negeri namun dicegah oleh imigrasi karena tidak ada dokumennya, dicurigai diselundupkan. Dan pintu keluarnya itu ada di Bali, melalui jasa pengiriman barang,” kata Harry.
“Kami sudah mewaspadai hal itu karena selalu ada,” lanjutnya. “Kalau setiap tahun, saya rata-rata mendapat laporan 10 kasus dari pihak imigrasi.”
Walau keberadaan mafia masih dalam bayang-bayang, namun makelar barang peninggalan kuno, nyata dirasakan Yulianto. Dia menyebut para makelar sudah mengamati peredaran benda-benda bersejarah yang ada di Indonesia.
Bila perlu, menurut Yulianto, mereka sering kali menyewa tanah bahkan bekerja sama dengan masyarakat lokal.
Sebagai seorang arkeolog, Yulianto mengaku kerap ditanya kisaran harga untuk benda kuno yang ditemukan. Namun arkeolog spesialisasi permuseuman ini menolak dengan alasan tidak mendalami ilmu taksiran benda kuno.
"Kadang-kadang ada yang mengirim minta tolong mencarikan barang atau saya diminta untuk meyakinkan apakah barang ini asli atau bukan. Kadang-kadang terang-terangan juga. Saya bilang saya enggak ngerti jadi juru taksir," kata Yulianto.
 Ilustrasi: Kemendikbud meyebut Bali kerap menjadi pintu keluar dari Indonesia bagi sejumlah barang bersejarah yang coba diselundupkan. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Menurut Yulianto, harga seperti yang mereka minta hanya bisa didapatkan setelah melalui pengujian laboratorium dan perhitungan nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah benda.
Beberapa benda kuno di Indonesia diketahui dapat bernilai hingga miliaran rupiah. Seperti beberapa kasus yang diakui Harry pernah dia alami.
“Dahulu pernah, ada atap tengkorak
Pithecanthropus erectus dijual di internet seharga Rp3 miliar dan profesor dari Jepang berminat membeli,” tutur Harry. Namun profesor itu mengurungkan niatnya setelah tahu asalnya dari Indonesia.
“Namun ia tidak ingin bila [atap tengkorak] itu berasal dari Indonesia lantaran bersahabat dengan Prof Teuku Jacob, ahli antropologi ragawi UGM. Tengkorak itu diketahui [akhirnya] dijual di sebuah toko di New York."
“Setelah diselidiki, atap tengkorak berusia 150-200 ribu tahun itu aslinya ditemukan di desa Ployo, daerah Bengawan Solo, waktu itu ditemukan oleh penambang pasir yang kemudian dibeli oleh sopir truk seharga Rp20 ribu dan sempat ditemukan di sebuah toko antik di Jalan Surabaya, Jakarta," lanjut Harry.
Tiba-tiba saja, benda bersejarah itu sudah di New York.