Jakarta, CNN Indonesia -- Film horor tak bisa dilupakan dari sejarah perfilman Indonesia. Sejak The Teng Chun membuat
Doea Siloeman Oeler Poeti en Item pada 1934, orang Indonesia sudah mengenal bahwa legenda klasik nan menyeramkan pun bisa diangkat ke layar lebar dan punya banyak penonton.
Sepanjang 83 tahun terakhir, sosok-sosok hantu yang selama ini hanya ada dalam mitos masyarakat Indonesia kebanyakan, mewujud jadi nyata. Mereka kemudian menjadi ikon yang terus menempel di benak penonton. Sundel bolong, kuntilanak, pocong, dan lainnya.
Hingga kini, wujud hantu dalam film horor berputar itu-itu saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Joko Anwar, sutradara yang kini sedang membuat kembali film horor
Pengabdi Setan, faktor kedekatan menjadi pengaruh kenapa setan-setan Indonesia selalu berhasil ‘menakuti’ penonton. Wujud-wujud hantu itu, ada dalam mitos yang banyak beredar di masyarakat.
“Film barat ada werewolf, vampire, tapi itu tidak dekat dengan kita. Budaya kita dekatnya sundel bolong, pocong. Mungkin lebih dekat, lebih ngeri, dan lebih familiar,” kata Joko saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com baru-baru ini.
Tapi film horor zaman dahulu lebih dianggap ikonis dan menakutkan karena sedikitnya pilihan hiburan yang disuguhkan di masa itu. “Pilihannya, tontonan di TV juga tidak banyak seperti sekarang. Belum ada
smartphone, orang hiburannya film dan nonton ke bioskop.”
Lantaran begitu meledak dan dikenal, film horor lawas pun terkenang sampai sekarang.
Sebut saja,
Pengabdi Setan, Beranak dalam Kubur, Nyi Blorong, dan
Malam Satu Suro. Generasi
milennials pun masih pernah mendengar judul-judul itu.
Tapi produser Rapi Films Sunil Samtani punya pendapat berbeda soal film horor lawas. Ia tidak menganggap mereka lebih unggul. Hanya saja, memang ada keistimewaan khusus.
“Kalau dilihat film horor lawas itu lebih
creepy, CGI belom ada. Apa pun yang mereka buat itu real, sedangkan saat ini CGI banyak sekali," katanya pada
CNNIndonesia.com.
[Gambas:Youtube]Meski begitu, Sunil melanjutkan, penggunaan teknologi CGI tidak berarti membuat film horor sekarang jadi tidak lebih seram. Contohnya,
The Conjuring yang tetap sukses meski menggunakan banyak CGI. Film itu menghasilkan US$318 juta dari
box office global.
"Jadi menurut saya itu tergantung konsepnya. Dulu ada film
Bayi Ajaib dan itu terkenal. Gimana pendekatan ke penonton, konsep ceritanya, dan penggarapannya,” tutur Sunil.
“Kalau bagus, ya jalan," ujarnya lebih lanjut.
Ia juga melihat perbedaan yang signifikan dari film horor lawas dan sekarang. Dari tampilan, Sunil menyebut, film lawas memang masih terlihat sangat menakutkan.
“Orang lihat horor '80-an sampai sekarang masih takut,” ujarnya.
"
Look itu berpengaruh sekali untuk film horor. Kalau kita lihat film horor yang biasa banget enggak ada konsep yang benar
look-nya. Saya rasa penonton sekarang semakin pintar. Anak muda yang memenuhi bioskop ini sudah pintar dan langsung ke sosmed," lanjutnya.
Lain lagi dengan Rizal Mantovani, sutradara film
Jelangkung. Bukan hanya penampilan, ia juga melihat bedanya teror dalam film horor lawas yang bikin merinding penonton.
"Yang saya tahu, itu disebutnya
horror tropes. Dari pintu terbuka pelan-pelan, kucing lewat, misalnya, juga ada binatang mati sebelum ada kejadian. Cara menampilkannya yang beda, tapi dari zaman dulu masih menggunakan hal itu," ujarnya menyebutkan.