Aceh, CNN Indonesia -- Tidak semua anak bisa menerima cerita kancil mencuri timun atau kucing bersepatu lars.
Cerita fabel semacam itu, yang melibatkan binatang sebagai tokoh utamanya, menurut pendongeng Komunitas Ayo Dongeng Indonesia (Ayodi) Cahyono Budi Dharmawan, lebih cocok untuk anak-anak di bawah usia tujuh tahun. Beda usia anak, beda lagi dongeng yang pas.
Prinsipnya, dongeng memang sama. Yang dilontarkan mesti kisah yang bermakna dan bisa diambil hikmahnya. Tapi psikologis anak-anak berbeda-beda tergantung usia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setidaknya mereka perlu dibagi menjadi tiga rentang usia, berdasarkan psikologisnya.
Seperti disinggung sebelumnya, kisah fabel cocok untuk anak-anak di bawah tujuh tahun. Anak usia itu lebih menyukai hewan, apalagi yang dipersonifikasikan, dengan tingkah laku seperti manusia. terbukti dengan banyaknya kartun dengan hewan sebagai tokoh yang dominan.
“Karakter seperti itu biasanya lebih lucu,” tutur Budi di Aceh, beberapa waktu lalu.
Di dalam cerita tentang hewan untuk anak usia itu, bisa disisipkan sifat-sifat dasar yang mulia. Misalnya, berkata jujur dan tidak boleh mencuri. Penanaman itu bisa lebih optimal jika disisipkan akibat buruknya. Misalnya, ketika tokoh dalam cerita berkata bohong, ia mendapat akibat buruk yang merugikan diri sendiri atau orang lain.
Contoh yang terasa nyata itu akan lebih melekat di memori anak sampai dewasa.
“Itu dapat membentuk karakter dasar manusia,” ujar Budi melanjutkan.
Untuk anak sekolah dasar, kisah dongeng yang tepat bisa berbeda lagi. Kata Budi, kisah dengan tema persahabatan perlu diutamakan. Sebab, anak di usia ini sudah mulai menjalin hubungan secara intensif dengan orang lain, terutama teman sebaya di rumah maupun sekolah.
Dongeng mengenai persahabatan pun dapat menjadi modal bagi mereka untuk memperlakukan teman sebagaimana mestinya. “Bahwa kita membutuhkan orang lain dalam hidup dan bersosialisasi, itu bisa didapat dari kisah persahabatan,” ujar Budi.
Selain persahabatan, sifat-sifat mulia lain, baik kepada teman maupun orang tua, juga masih perlu ditanamkan. Di usia ini dongeng sudah tidak harus melalui tokoh hewan. Dalam taraf ini, anak-anak sudah mampu mengambil hikmah dari cerita dengan tokoh beragam.
Dongeng tidak lantas harus berhenti ketika anak sudah menginjak bangku sekolah menengah.
Namun, kata Budi, anak sekolah menengah kategori ini perlu diberi kisah yang benar-benar terjadi, bukan lagi fiktif seperti fabel yang disajikan kepada anak-anak usia tujuh tahun.
Anak-anak di bangku sekolah menengah pertama sudah mulai mencari jati dirinya. Oleh karena itu, kisah yang cocok untuk didongengkan yakni mengenai riwayat hidup tokoh-tokoh yang menginspirasi. Tokoh yang diceritakan juga harus dari beragam latar belakang.
Dengan demikian, mereka lebih toleran terhadap perbedaa.
Namun, tentu kisah yang dituturkan harus mengandung makna yang dapat dijadikan jadi rujukan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Anak pun akan mengaitkannya dengan kehidupan mereka sendiri. “Sehingga mereka bisa berpikir, ‘Oh tokoh ini berhasil karena setiap hari melakukan ini. Nah yang cocok buat saya yang mana,’” ujar Budi.
(rsa)