Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Apa yang ditinggalkan Dolores O’Riordan untuk kita? Bagi saya, banyak.
Dari sekian mereka yang merasakan tumbuh di dekade ’90-an, rata-rata mengenal kurikulum belajar gitar di tongkrongan.
Untuk versi pemula,
chord atau
riff yang dipelajari tidak jauh dari
Creep milik Radiohead, dan
Zombie dari The Cranberries.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya memegang gitar dan menggerakkan jari pertama dengan tujuan, kala itu, untuk melagukan bassline dari
Zombie.[Gambas:Youtube]
Riff lagu tentang dampak perang itu cukup mudah dimainkan karena hanya menggunakan dua senar paling atas. Lagu yang fenomenal di dekade ’90-an tersebut (terbukti dengan berbagai versi parodi) tentu saja juga menyentuh banyak tangan lain yang kemudian membawa juga ke takdir masing-masing.
Takdir saya, masih berevolusi di seputar Dolores O’Riordan, vokalis The Cranberries, yang baru saja tutup usia Senin (15/1) waktu Inggris.
Hasil dari belajar gitar pertama itu kemudian terakumulasi dengan membolak-balik kaset album
No Need to Argue (1994) via walkman merk Aiwa oleh-oleh dari tanah Arab. Album yang membawa band asal Irlandia itu meroket hingga diundang untuk tampil pada gelaran Woodstock 1994.
Dolores menjadi penulis utama dari semua lagu, termasuk memilih tema-tema yang kemudian menjadi musik latar bagi banyak kalangan. Umumnya ia dikenal dengan lagu-lagu lembut macam
Linger, When You’re Gone atau
Ode to My Family yang jamak berotasi di radio. Namun, ia pula yang menuliskan tema gagah yang banyak tertampung pada album
To the Faithful Departed (1996).
Album ketiga yang dirilis dengan latar perang Balkan ini disebut-sebut sebagai salah satu album terburuk.
Di album ini Dolores menajamkan kemampuannya menulis lirik (dan judul) yang lebih blatant. Dalam beberapa versi rilisan, terdapat lagu berjudul ‘Bosnia’ yang tentu merupakan sinambung tema dengan
War Child di album yang sama. Atau dengan
Zombie di album sebelumnya.
Tema lirik kemudian bergeser menjadi cinta platonik pada album
Bury the Hatchett (1999) seolah menjadi pernyataan Dolores sendiri dari yang vokal menjadi lebih riang serta empatik.
Ia menjadi ibu, dan cara pandangnya pun berubah.
Perubahannya ini bergerak bersama penggemarnya yang juga bertumbuh. Rata-rata perempuan yang beranjak dewasa. Ada juga sampel di luar populasi seperti saya. Laki-laki, dalam demografi yang mungkin belum mencapai rerata usia penggemar The Cranberries, serta masuk pula dalam jamaah Metallica dan Pearl Jam.
 The Cranberries lekat dengan generasi '90-an. (AFP PHOTO / JoÎl SAGET) |
Pada tahun 2000, saya mengalami kecelakaan hebat. Motor saya ditabrak dari belakang oleh sepeda pengangkut rumput sehingga melaju bebas ke arah truk yang melaju dari arah berlawanan.
Sampai di situ yang saya ingat sebelum kemudian terbangun di UGD sebuah rumah sakit. Jawaban saya ketika ditanya apa yang diingat: “Saya ingat sedang bersenandung
Ridiculous Thoughts sebelum ditabrak.”
Demikian Dolores dan The Cranberries yang senantiasa hadir dalam kisah-kisah terbaik saya. Tak mesti di kisah bahagia. Histori romansa saya juga selalu bermusik-latar band yang sempat mampir ke Indonesia pada 2011 ini.
Adalah lagu
Every Morning dari album
Wake Up and Smell the Coffee (2001) yang menjadi lagu persembahan, dinyanyikan tiap pacar saya dulu ulang tahun. Ironisnya, kutipan dari lagu
Dying in the Sun (Bury the Hatchett) dituliskan oleh mantan pacar saya (orang yang berbeda dengan subjek sebelumnya) ketika kami berpisah.
Dengan mantan pacar yang sekarang jadi istri, giliran album CD
To the Faithful Departed yang saya temukan di Cihapit, Bandung, jadi pemberian kenangan manis.
Saya juga ingat ketika The Cranberries merilis
Wake Up and Smell the Coffee usai sukses
Bury the Hatchett, tidak banyak sambutan antusias. Tetapi saya justru suka dengan album kelima tersebut, terutama lagu
Time is Ticking Out yang mengkapitulasi evolusi Dolores dari album sebelumnya.
Ia membawa tema katastrofik global yang (hanya) bisa diselesaikan dengan tindakan empatis. Tentu saja, lagu ini tidak populer dan tidak muncul dalam repertoir konser ‘Greatest Hits’ di Jakarta pada 2011.
 Foto: REUTERS/Arben Celi /File Photo Dolores 'The Cranberries' dalam penampilannya pada 2007. |
Kesedihan saya hanya satu hal pada saat konser itu. Kakak saya, yang mengenalkan band ini, tidak bisa hadir. Sehingga, ketika
Ridiculous Thoughts dibawakan saya sempat menelepon untuk ia bisa mendengarkan langsung.
Sejarah romansa ini bertalu-talu muncul ketika membaca kabar bahwa Dolores O’Riordan melepas nyawa. Saya sempat tertegun dan tanpa sadar jari meneruskan tautan berita ke beberapa grup WhatsApp berisi orang-orang yang tentu tahu bahwa The Cranberries menjadi bagian cerita di masa lalu.
Ini adalah obituari yang menutup kemungkinan persuaan lagi kepada Dolores O’Riordan. Meneruskan apa yang dikatakannya sendiri dalam lagu.
“
…suddenly feels empty.”
(rsa/asa)