Jakarta, CNN Indonesia -- Kisah seorang anak Betawi yang bernama
Doel yang dimulai pada 1932 melalui sebuah novel bertajuk
Si Doel Anak Betawi hingga dalam versi sinetron dan film yang modern ternyata memiliki pengaruh pada kebudayaan Betawi.
Pengamat budaya Betawi JJ Rizal menilai bahwa kehadiran karakter Doel sejatinya mendobrak stigma akan citra orang Betawi yang hanya bermodal otot belaka.
"Pengaruh kisah si Doel yang penting dicatat adalah, ketika hadir, telah memberi perspektif baru atas stereotipe yang sedang marak dibuat dalam aneka media dari cetak sampai layar lebar: bahwa orang Betawi itu identik dengan jagoan main otot saja, pemalas yang terbelakang, dan mengandalkan hidup hanya dari jual tanah," kata Rizal saat berkorespondensi dengan
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Doel melakukan yang sebaliknya. Anak Betawi digambarkan jago main pikiran, pekerja keras yang berpikir progresif akan masa depan dan berusaha berdikari dari yang dimiliki dengan berhemat," lanjutnya.
Kisah tentang anak Betawi bernama Doel dimulai berkat Aman Datuk Madjoindo. Melalui novel
Si Doel Anak Betawi (1932), Aman mengisahkan Doel adalah seorang anak Betawi yang terancam putus sekolah untuk membantu ibunya pasca ayahnya meninggal dunia.
Padahal, Doel amat ingin bersekolah. Meskipun kemudian ia dapat melanjutkan sekolahnya hingga lulus Sekolah Rakyat sejak ibunya menikah dengan seorang pria, Doel digambarkan memiliki visi pendidikan yang lebih tinggi dibanding sebayanya kala itu.
Pun ketika diangkat ke versi layar lebar pada 1972. Pada 1976, Sjuman Djaja membuat film
Si Doel Anak Modern yang menggambarkan sosok Doel, seorang tamatan sekolah namun tak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Doel dalam
Si Doel Anak Modern yang diperankan oleh Benyamin Sueb pun memutuskan merantau ke kota untuk mengejar cita-cita dan cintanya pada seorang gadis.
[Gambas:Youtube]Ketika Rano Karno menggubah kisah Doel menjadi bentuk sinetron pada 1994 melalui
Si Doel Anak Sekolahan, karakter pria Betawi ini juga digambarkan sebagai pendobrak stereotipe bahwa pria asli Betawi tak berpendidikan tinggi.
Sabeni, ayah Doel yang diperankan Benyamin Sueb dalam
Si Doel Anak Sekolahan, menginginkan anaknya menjadi sosok yang sukses dan ditandai dengan lulus hingga menyandang gelar sarjana teknik alias insinyur. Sesuatu yang kala itu dianggap prestise bagi orang tua.
Walaupun mendobrak kebiasaan, toh kisah Doel diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Hal ini ditandai dengan kesuksesan film
Si Doel Anak Modern (1976) dan sinetron
Si Doel Anak Sekolahan (1994-2003).
Si Doel Anak Modern tercatat sebagai film terlaris kelima di Jakarta dengan penjualan tiket mencapai 92.251, angka yang cukup besar kala itu.
Film ini juga memberikan Benyamin Sueb sebuah Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 1977 sebagai Pemeran Pria Terbaik, dan dua Piala Citra untuk Sjuman Djaya atas kategori Sutradara Terbaik serta Skenario Asli Terbaik.
Sedangkan sinetron
Si Doel Anak Sekolahan mendapatkan rating yang tinggi hingga dilanjutkan sampai enam musim, 124 episode, dan dikembangkan lagi melalui serial
Si Doel Anak Gedongan (2005), film televisi
Si Doel Anak Pinggiran (2011), dan film
Si Doel The Movie (2018).
Rizal menilai kesuksesan Doel dalam menarik hati penonton Indonesia dipengaruhi sejumlah faktor, beberapa di antaranya adalah penggunaan budaya Betawi modern serta konten yang dianggap berbobot walau banyak yang tertarik dengan kisah cinta Doel dengan Sarah dan Zaenab pada versi sinetron.
[Gambas:Video CNN]"Jauh sebelum Doel, [sudah] muncul kebudayaan Betawi-Jakarta. Terutama bahasanya telah menjadi bagian dari apa yang disebut simbol "gaul" atau modern," kata Rizal.
"Juga, perspektif baru yang pas di tengah kemuakan atas tayangan yang tanpa pikiran. Selain tentu saja teka-teki cinta segitiga. [Dengan ini], Doel punya banyak kekuatan untuk jadi tayangan yang ditunggu-tunggu," lanjutnya.
(end)