Jakarta, CNN Indonesia -- Teka-teki penciptaan semesta mengawali pentas 'Mahabarata: Asmara Raja Dewa' oleh
Teater Koma, Kamis (15/11). Pementasan itu membawa sarat nilai kepemimpinan dan keteladanan berlandaskan cinta di atas keberagaman yang relevan dengan kondisi saat ini.
Pertunjukan dimulai dengan seorang narator yang memulai kisah pembagian alam semesta menjadi tiga: Mayapada, Madyapada, dan Marcapada, oleh Sang Hyang Wenang.
Ketiganya memiliki penghuninya sendiri. Mayapada diisi oleh para dewa-dewi, Madyapada oleh para makhluk halus dan demit, sedangkan Marcapada menjadi tempat raksasa dan makhluk fana tinggal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, Hyang Wenang menciptakan wayang Hyang Tunggal untuk mengisi Madyapada sekaligus memegang tampuk kekuasaan. Hal inilah yang membuat makhluk dari api, Idajil, dengki. Keduanya bertarung, dan dimenangkan Hyang Tunggal.
Kehidupan Hyang Tunggal berkembang. Ia menikah dengan Dewi Rekatawati. Namun bukannya dikaruniai anak, sebutir telur justru lahir dari rahim sang dewi.
Namun dari telur itulah lahir keempat anak Hyang Tunggal. Mereka adalah Antaga dari bagian kulit, Ismaya dari bagian putih telur, Manikmaya dari bagian kuning, serta Manan dari bagian ari-ari.
Meski lahir dari telur yang sama, keempatnya beradu menjadi yang tertua. Alhasil, wujud Antaga dan Ismaya menjadi buruk rupa. Mereka pun mengadu ke Hyang Tunggal yang kemudian menghukum mereka berempat tetap rukun.
"Ada berbagai permasalahan yang tak seharusnya dipermasalahkan. Akhirnya jiwa dan raga yang menjadi korban," ucap Hyang Tunggal.
"Cinta dan kasih merupakan landasan yang menyatukan hingga kalian bisa jadi sakti. Kenapa sering diabaikan? Ketika kesombongan dan kepongahan ada dalam diri, maka kalian akan jadi lemah! Kala serakah berhasil memengaruhi, kepingan Ijadil akan mudah masuk," lanjut Hyang Tunggal.
Kisah berlanjut dengan Manikmaya yang menjadi Rajadewa bertitel Batara Guru. Ia bukan hanya menjadi penguasa tertinggi dan bertarung dengan makhluk lain, melainkan juga dirinya sendiri seperti nafsu dan egonya.
 Pementasan Mahabarata oleh Teater Koma. (CNN Indonesia/Diana) |
Batara Guru menikah dengan Dewi Umiya yang rupawan dan berbudi pekerti. Namun itu ternyata membuatnya pongah dan kerap tak menghargai posisi sang istri.
Suatu kali, ketika Dewi Umiya menolak permintaan Batara Guru untuk bersetubuh, sang Rajadewa justru mengutuknya. Batara Guru pun menyesal tiada tara. Ia pun harus menghadapi dampak dari kesombongan dan egonya sendiri.
Teladan Cinta dan KepemimpinanTeater Koma sungguh arif memilih tumpuan cerita yang bersandar pada konsep keberagaman, persatuan, dan menyelipkan semangat feminisme di dalam pementasannya.
Sebab, topik-topik tersebut merupakan bahan pembicaraan yang sedang hangat diperbincangkan masyarakat Indonesia.
Setiap karakter tak digambarkan sebagai tokoh yang naif meski berwujud seorang dewa.
Karakter baik dan buruk tetap ada dalam tiap-tiap karakter, namun yang membedakan adalah keinginan untuk berubah dan memperbaiki sikap buruk atau kesalahan mereka.
Meski tak secara gamblang menyindir dunia politik layaknya pentas-pentas Teater Koma sebelumnya, kisah Mahabarata memberikan gambaran teladan kepemimpinan dari karakter Batara Guru.
Batara Guru menggambarkan sosok pemimpin yang senantiasa belajar dari kesalahan, mementingkan rasa persaudaraan, tak memuliakan arti 'tuan' itu sendiri.
Bahkan, cerita ini juga turut menghadirkan gaya bicara anak 'JakSel' dalam karakter Petruk. Petruk kerap berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan percampuran yang tidak pada tempatnya hingga memicu gelak tawa penonton.
Cinta yang dihadirkan dalam pementasan ini juga bukan hanya soal hubungan saling hormat antara suami-istri, tetapi juga arti penting sebuah keluarga dan rasa persaudaraan yang justru menjadi sumber kekuatan yang sesungguhnya.
[Gambas:Instagram]Visualisasi dan Kostum MutakhirBerbicara soal makna cerita, Teater Koma tak perlu diragukan. Namun pada pementasan 'Mahabarata: Asmara Raja Dewa', Nano Riantinarno mengemas makna mendalam tersebut dengan visualisasi modern yang memanjakan mata.
Cerita yang berlatar di langit dan angkasa ini mampu ditampilkan secara langsung lewat animasi tiga dimensi di atas panggung. Imajinasi tentang perkasanya pertempuran para dewa terealisasi dengan apik layaknya menonton film.
Sejatinya, teknik penampilan animasi di atas panggung tersebut sudah dilakukan Teater Koma pada pentas sebelumnya yakni
Gemintang.
Namun dalam pementasan kali ini, animasi ditampilkan dengan proporsi yang lebih banyak dan dipadu dengan efek suara yang sangat mendukung.
Adegan yang biasanya hanya ada dalam imajinasi terasa mencuat keluar dan tumpah di atas panggung.
Unsur kostum juga menjadi unsur penting yang mendukung terciptanya magis di atas panggung. Beberapa karakter seperti Ismaya, Antaga, Gareng, dan Petruk memang diceritakan berubah wujud.
Namun kecerdasan strategi merancang busana Rima Ananda, selaku penata busana pementasan, memungkinkan perubahan tersebut dilakukan di atas panggung.
Dalam waktu seketika, busana dan tampilan para karakter tersebut berubah tanpa harus pergi ke belakang panggung layaknya pementasan pada umumnya. Lagi-lagi, Teater Koma mewujudkan magis di atas panggung.
Visualisasi dan kostum mutakhir ini mampu menjadi standar baru pementasan Teater Koma atau mungkin teater lain di Indonesia.
Kolaborasi ciamik proyeksi animasi, efek suara, dan tata lampu mampu menunjukkan Teater Koma sebagai teater yang tetap terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Lakon 'Mahabarata: Asmara Raja Dewa' dipentaskan setiap hari selama 10 hari, mulai 16 sampai 25 November 2018, pukul 19.30 WIB. Khusus hari Minggu, pementasan dimulai pada 13.30 WIB. Tiket pementasan ini dijual dari Rp60 ribu hingga Rp500 ribu.
(dna/end)