Jakarta, CNN Indonesia -- Jauh sebelum perdebatan soal pemimpin perempuan pertama yang tengah ramai menyelimuti
Keraton Yogyakarta, Bumi Mataram sejatinya pernah dikepalai seorang ratu.
Shima, seorang perempuan kelahiran Sumatera yang merupakan keturunan pemuka agama Hindu-Syiwa, memegang tampuk kepemimpinan di pantai utara Jawa sejak 674 hingga 694 Masehi. Ia menggantikan suaminya, Kartikeyasinga sebagai penguasa Kerajaan Kalingga.
Tak dinyana, di tangan Shima kerajaan itu mencapai puncak kejayaan. Sifat Shima yang adil dan tegas, tak pilih kasih soal hukuman meski kepada anak kesayangannya sendiri, dikenal seantero negeri. Di masa kepemimpinan Shima nyaris tak ada kejahatan dan pencurian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keturunan Shima kelak membuat menguasai Kerajaan Medang, yang lantas menjadi Kahuripan, pecah dan pindah kekuasaan ke Jawa Timur menjadi Kadiri, Singosari, kemudian dikuasai Majapahit. Setelah panji terbesar di Jawa itu runtuh, Kerajaan Demak tumbuh.
Demak merupakan cikal bakal Mataram Islam, yang belakangan terpecah menjadi dua: Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Keduanya masih dikenal hingga kini.
Di salah satunya, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sejarah mungkin akan berulang. Keraton bakal dipimpin seorang perempuan, yakni putri tertua Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) X, GKR Pembayun.
HB X sudah memberi gelar Mangkubumi kepadanya.
Gelar itu menjadi penanda seseorang biasanya akan naik takhta. Namanya kini menjadi Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Ia menorehkan sejarah sebagai perempuan pertama penerima gelar Mangkubumi dalam sejarah kerajaan Jawa.
Lazimnya gelar Mangkubumi diberikan kepada putra raja tertua. Namun HB X hanya punya lima orang putri hasil pernikahannya dengan GKR Hemas. Pada 2015, muncul wacana putri tertuanya akan naik takhta, meski itu masih jadi kontroversi karena tak disetujui adik-adiknya.
 Sri Sultan Hamengkubuwono X keluar dari Siti Hinggil Keraton Ngayogyakarta seusai mengeluarkan sabda raja yang menobatkan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko) |
Pada 30 April 2015 HB X mengeluarkan Sabda Raja untuk mengganti gelar.
Sejak 1989 ia bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Gelar itu berubah menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengkubawono ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama. Gelar Hamengku Buwana berubah menjadi Hamengkubawono. Kemudian gelar Abdurrahman, Sayidin dan Khalifatullah dihilangkan.
Lalu, 5 Mei 2015 HB X mengeluarkan Dawuh Raja, memberi gelar Mangkubumi pada putrinya. Muncullah wacana Kesultanan Yogyakarta akan dipimpin seorang perempuan.
Namun peluang perempuan memimpin Keraton semakin besar ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan soal syarat pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY pada Agustus 2017.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa syarat cagub dan cawagub Yogyakarta harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. Kata 'istri' dalam aturan tersebut resmi dihapus karena dinilai diskriminatif karena seolah memberikan syarat bahwa raja dan Gubernur di Yogyakarta harus laki-laki.
(bersambung ke halaman selanjutnya...)
Anggapan bahwa perempuan lebih dari sekadar sigaraning nyawa atau garwa (belahan jiwa) kanca wingking (teman di belakang/dapur), isi-isining omah (pengisi rumah) dan pasangan seks belaka sebenarnya sudah ada jauh sebelum wacana GKR Mangkubumi naik takhta.
Shima jadi buktinya.
Mengutip buku Raja-Raja dan Istri-Istri Raja Di Tanah Jawa karya Krisna Bayu Adji, Shima bahkan bukan satu-satunya ratu di Tanah Jawa. Pada rezim lain, ada Ratu Sanjaya (717-160) serta Sri Isyana Tunggawijaya (947-991) pada Kerajaan Medang, Pramodawardhani pada Kerajaan Mataram (833-856), Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 -1351) serta Prabu Stri Suhita (1427-1447) pada Kerajaan Majapahit. Kebanyakan pada masa kerajaan Hindu-Budha.
Dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia Prapto Yuwono menganggap itu wajar karena agama Hindu dan Budha tak punya batasan jenis kelamin untuk pemimpin. Menurutnya itu berbeda dengan Islam yang lebih memprioritaskan laki-laki sebagai pemimpin.
"Kerajaan Majapahit hancur, konsep Hindu-Budha kemudian hancur karena agama Islam masuk, Kesultanan Demak meyerang. Islam tidak berkasta seperti Hindu-Budha sehingga menyebar lebih cepat," kata Prapto beberapa waktu lalu saat ditemui
CNNIndonesia.com.
Namun sejarah tetap mencatat adanya ratu dalam Kesultanan Demak yang menjadi pelopor penyebaran agama Islam dan pernah menguasai Jawa Tengah. Kalinyamat, putri Trenggana, pernah menjadi pemimpin. Ia menjadi Bupati Jepara, salah satu wilayah kekuasaan Demak.
[Gambas:Video CNN]Kalinyamat menjadi bupati Jepara karena keadaan darurat. Suaminya, Raden Toyib, tewas di tangan Arya Penangsang. Ia lantas menggantikan menjadi bupati Jepara dari 1546 sampai 1579. Kalinyamat pun tak gagal sebagai pemimpin. Ia dikenal sebagai perempuan berani.
Ia bahkan tak pernah gentar melawan Portugis.
Kerajaan dengan konsep ajaran Islam semakin besar setelah kemunculan Kesultanan Mataram. Pada 1587, Danang Sutawijaya menyatakan Kesultanan Mataram sebagai kerajaan independen, tak lagi di bawah kendali Kerajaan Pajang.
Ia kemudian mendapat gelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Gelar yang cukup panjang itu memiliki arti yang mendalam.
Panembahan yang berasal dari kata sembah berarti orang yang disembah. Senopati berarti penguasa sah di dunia. Ing Alaga berarti memiliki kuasa untuk memutuskan perdamaian atau peperangan, dapat diartikan pula sebagai panglima tertinggi.
Tiga dari lima kata terakhir dalam gelar itu diambil dari konsep Islam. Kata Sayid dapat diartikan orang yang dituakan atau guru, Panatagama dapat diartikan penata agama. Khalifatullah berarti wakil Allah, berasal dari kata khalifah yang berarti pemimpin.
Tak semua pemimpin Kesultanan Mataram menggunakan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah.
 GKR Mangkubumi digadang-gadang menjadi sultanah pertama di Tanah Jawa. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama) |
Gelar tersebut baru berlanjut pada Amangkurat IV yang memimpin Kasunanan Kartasura, perubahan dari Kesultanan Mataram. Gelar itu terus berlanjut saat Kasunanan Kartasura pecah menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
"Sejak itu perempuan mulai menjadi nomor dua dari laki-laki, tidak bisa berkuasa lagi. Raja itu penguasa dan harus laki-laki karena gelar khalifatullah. Dengan gelar itu raja juga sebagai pemimpin agama, dan itu harus laki-laki," kata Prapto.
Perempuan kembali menjadi garwa, kanca wingking, isi-isining omah dan pasangan seks. Belum lagi, sebagai istri ia harus rela dimadu bila ada raja yang ingin menikah lagi.
Meski begitu, perempuan Jawa tetap diagungkan sebagai istri dan ibu. Sosok perempuan yang agung juga diceritakan lewat pewayangan, seperti Kunti dan Drupadi.
Membuat posisi perempuan setara dengan laki-laki di Jawa seperti zaman dulu dirasa sulit. Jawa tidak akrab dengan pemikiran feminisme.
"Kalau kita lihat Kartini, saya kira tidak ada feminisme, karena Kartini hanya membuka cakrawala pikiran saja. Tidak keluar dari posisinya sebagai ibu rumah tangga, hanya membuka wawasan saja gitu. Jadi tidak ada feminisme," kata Prapto.
Kini, stereotipe itu bisa jadi akan segera berubah seiring dengan revolusi di Kesultanan Yogyakarta.