Jakarta, CNN Indonesia -- Tak ada yang pernah menyangka bahwa sebuah instruksi atasan bisa menjadi kenangan seumur hidup. Hal itu dirasakan Vega, seorang mantan wartawan, ketika mendapat perintah untuk meliput kehadiran
Westlife di Jakarta dalam kunjungan perdana pada tahun 2000 silam.
Saat bertemu dengan
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu, ia menuturkan awal kisah unik itu bermula ketika pemimpin redaksi (Pemred) majalah GADIS, kantor Vega saat itu, memberinya instruksi untuk mendapatkan berita eksklusif dari boyband asal Irlandia tersebut.
Instruksi yang tak mudah dilakukan, mengingat persaingan majalah remaja kala itu. Apalagi GADIS bukan media partner konser Westlife. Saat itu hanya majalah Aneka yang menjadi rekanan promotor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terus Pemred gue cuma bilang, 'gue enggak mau tahu pokoknya liputan lo harus eksklusif meski kita bukan media partner'," kata Vega mengenang.
Ia benar-benar memutar otak. Sebab, kondisi yang ada membuat mendapatkan berita eksklusif terlihat seperti si pungguk yang merindukan bulan.
Menjadi media partner merupakan keuntungan sendiri bagi media dalam acara tertentu. Media tersebut bisa mendapatkan kesempatan yang tidak dimiliki media non-partner, seperti wawancara khusus hingga informasi kegiatan si artis ketika berada di Jakarta.
Hal itu yang tak didapat Vega. Permintaan Pemred menjadi tekanan tersendiri bagi reporter. Kemampuan bekerja bisa dipertanyakan apabila tak memenuhi keinginan atasan.
Ketika pintu media partner telah tertutup, Vega harus mulai mencari celah lain. Salah satunya adalah mencari sisi-sisi lain kunjungan seperti lokasi menginap Shane Filan, Mark Feehily, Kian Egan, Nicky Byrne dan Brian McFadden saat itu.
Beberapa waktu sebelumnya, Vega sempat membaca sebuah majalah yang memberi tahu bahwa Westlife akan menginap di Hotel Hilton atau yang sekarang dikenal sebagai Hotel Sultan.
 Ketika pintu lift terbuka, Shane Filan dan rekan-rekannya berdiri tepat di depan mata Vega. (CNN Indonesia/Resty Armenia) |
Ia langsung bergerak cepat, menghubungi Humas Hotel Hilton yang telah dikenal sebelumnya. "'Boleh enggak gue motret kamarnya Westlife?'. Eh, enggak boleh," kata Vega.
Namun, Humas Hotel Hilton itu berbaik hati mengajak Vega ke ruangan di samping kamar Westlife beristirahat. "Padahal kalau enggak selantai enggak apa-apa, yang penting Suite Room," ucapnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Berbekal kamera roll di tangan, Vega masuk ke lift bersama Humas hotel.
Pucuk dicinta ulam tiba. Ketika pintu lift terbuka, bukan bentangan lorong dan pintu-pintu kamar yang terlihat, melainkan kelima anggota Westlife yang berdiri tepat di depan mata. Ternyata, saat itu personel Westlife hendak turun untuk sarapan bersama.
Jari jemari Vega langsung sibuk memencet tombol kamera untuk mengabadikan momen tersebut. Namun, kesempatan itu tak berumur panjang karena pengawal Westlife yang bertubuh besar meminta mereka untuk menyingkir.
"Dikira kita penggemar yang
ngumpul kali ya," ucapnya.
Namun sang bintang tetap ramah menyapa.
"Hi. How are you?" sapa Westlife kepada Vega dan Humas hotel.
Berita Hiburan Pilihan Lainnya |
Setelah berhasil mendapatkan foto Westlife yang tak didapat media lainnya, Vega buru-buru mengambil gambar kamar yang serupa dengan tempat istirahat Westlife.
Dua gambar tersebut dirasa belum cukup untuk memenuhi permintaan bos dalam rapat redaksi. Otak kembali diputar terutama saat konferensi pers. Bahan yang didapat saat acara tak terasa spesial, karena semua media mendapatkan hal yang sama.
Sembari berpikir, Vega terus menatap ke arah Westlife. Ia pun tersadar, sepanjang acara mereka selalu sibuk mencorat-coret kertas yang disiapkan di atas meja. Ide nekat muncul di benak Vega.
"Enggak tahu gimana caranya, gue harus dapatin itu kertas. Ditabok
bodyguard yang tadi juga bodo amat deh," pikir Vega saat itu.
Setelah konferensi pers selesai dan anggota Westlife keluar ruangan, tanpa berpikir dua kali, ia langsung berlari ke depan dan mengambil seluruh kertas corat-coret Westlife di atas meja.
Kertas-kertas itu didekap erat-erat sampai berhasil dimasukkan ke tas. Vega baru mengeluarkannya setelah sampai di kantor.
"Mereka itu ternyata gambar-gambar muka sama
nyorat-
nyoret pakai Gaeilge (Bahasa Irlandia)," ceritanya.
Vega mengambil napas dalam. Beban seakan sedikit terangkat karena bahan berita eksklusif semakin bertambah.
Terlebih, Humas Hotel Hilton tak hanya memberi kesempatan bagi Vega untuk mengambil gambar kamar. Ia juga memberi tahu menu-menu yang dimakan Westlife selama tinggal di hotel tersebut, lengkap dengan menunjukkan bukti pembayaran.
"Jadi sekitar Rp850 ribu saat itu untuk berlima. Ada yang pesan nasi goreng, bubur ayam," ungkapnya.
 Kartu identitas yang mengantar Vega menuliskan laporan mendalam tentang Westlife. (dok. pribadi) |
Hasil gerilya itu ternyata menghasilkan cerita lima hingga enam halaman. Mulai dari kegiatan Westlife di Jakarta, acara konferensi pers, sampai ulasan konser.
"Gue senang aja GADIS mendapatkan cerita yang berbeda padahal bukan media partner," tutur Vega sambil tertawa.
Sejak saat itu, ia mulai mengikuti perkembangan hidup Westlife melalui pemberitaan. Meski jaringan internet belum sebanyak dan semudah sekarang, ia tetap bisa mengetahui kisah percintaan dan kehidupan kelima anggota Westlife dengan berlanggananan majalah musik luar negeri.
"Kayak 2004, Brian keluar dari Westlife, terus Mark ternyata gay, Nicky dimantu (menjadi menantu) sama Perdana Menteri Irlandia. Jadi gue tetap ngikutin," ucapnya.
Ia bahkan menyebut toko Duta Musik di Jalan Sabang sebagai
base camp, karena terlalu sering berkunjung untuk membeli album hingga poster Westlife.
Seiring berjalannya waktu, perlahan Vega tak mengikuti perkembangan hidup Westlife seperti semula. Menurutnya, musik mereka tak 'menempel' lagi dalam hidupnya.
"Sekarang mereka lagunya enggak
nancep lagi di otak. Mungkin karena enggak terlalu
ngikutin lagi ya," ujar Vega.
[Gambas:Video CNN] (chri/rea)