Jakarta, CNN Indonesia -- Salah satu perkembangan positif dunia perfilman selama periode pertama
Joko Widodo adalah pertambahan investasi dalam berbagai proyek film, sebagai dampak dari pencabutan Daftar Negatif Investasi (DNI) pada 2016.
Presiden Joko Widodo mencabut sejumlah industri yang masuk dalam Daftar Negatif Investasi, salah satunya adalah perfilman yang berdampak investasi asing bisa ikut dalam produksi, membiayai, atau berinvestasi dalam film nasional.
Perfilman sebelumnya menjadi salah satu industri yang dilarang menerima investasi dari asing. Hal ini berimbas pada mandeknya perkembangan perfilman karena hanya mengandalkan dana dari pengusaha lokal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika perfilman dicabut dari DNI, maka para pelaku perfilman mulai dari produser, pengusaha bioskop, juga sineas bisa bekerja sama dengan pihak asing untuk menghasilkan film yang tayang di Indonesia.
Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf sempat mengatakan kepada media bahwa sebelum DNI dicabut, 80 persen film yang diputar merupakan film asing.
 'Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212' merupakan hasil kerja sama studio lokal dan Hollywood. (dok. Lifelike Pictures) |
Kini, dengan 'vitamin' investasi dari asing, produksi film lokal bertambah dan mampu menguasai 60 persen layar di bioskop.
Dampak pencabutan DNI pada 2016 tersebut memang tidak langsung terlihat. Namun data yang dihimpun
CNNIndonesia.com menunjukkan film yang melibatkan investasi asing bertambah sedikit demi sedikit.
Tercatat, ada satu film dengan capaian lebih dari 1 juta penonton yang mendapat investasi asing pada 2017. Capaian itu diraih oleh film
Sweet 20, hasil produksi Starvision Plus bekerja sama dengan CJ Entertainment dari Korea Selatan.
Pada 2018, ada film
Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Film ini merupakan Lifelike Pictures bekerja sama dengan Fox International Production, yang merupakan anak perusahaan 20th Century Fox dari Hollywood.
Selanjutnya pada 2019, ada film
DreadOut , Bebas, dan
Sunyi yang didukung CJ Entertainment. Kemudian ada film
Perempuan Tanah Jahanam yang didukung CJ Entertainment dan Ivanhoe Pictures dari Hollywood.
Pengamat perfilman Hikmat Darmawan mengakui pencabutan DNI berdampak positif, walau sebenarnya biaya yang dikeluarkan investor asing tersebut ke film-film Indonesia terbilang "receh".
 investasi ke dunia perfilman yang terbuka juga memungkinkan pengusaha asing membuka bioskop-bioskop di daerah sehingga akan memicu akses masyarakat ke bioskop. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
"Misal di film Wiro Sableng, risiko investasi rumah produksi dari Hollywood itu kecil. Tapi dampak secara production value itu besar, salah satunya promosi," kata Hikmat.
Bukan hanya terhadap studio, investasi ke dunia perfilman yang terbuka juga memungkinkan pengusaha asing membuka bioskop-bioskop di daerah sehingga akan memicu akses masyarakat ke bioskop.
Hal tersebut kemudian berdampak pada pertambahan penonton film di Indonesia yang berujung pada peningkatan pendapatan industri film.
Pada Maret 2019, Kemendikbud pernah berkata ada peningkatan penonton film Indonesia.
Menurut data yang tak kunjung mereka rilis secara resmi itu, ada 16 juta penonton film Indonesia pada 2015. Angka tersebut naik drastis menjadi 36 juta pada 2016, 42 juta pada 2017 dan 48 juta pada 2018.
Bila mengacu pada angka dari Kemendikbud tersebut, pada 2018 saja, sebesar Rp1,6 triliun dihasilkan dari penjualan tiket jika per tiket seharga Rp35 ribu. Faktanya, beragam tiket terjual di Indonesia, mulai dari Rp35 ribu hingga ratusan ribu per tiket.
"Nah ekosistem lain adalah bagaimana kita mempertemukan pemilik-pemilik modal yang tertarik untuk investasi di film di segala hal," kata Triawan menyikapi perkembangan DNI.
(adp/end)