Jakarta, CNN Indonesia -- Kisruh berkepanjangan yang terjadi di dalam tubuh Televisi Republik Indonesia (
TVRI) sejak akhir tahun lalu terlihat belum menemui titik terang. Menyusul pemecatan sepihak terhadap
Helmy Yahya selaku Direktur Utama pada akhir tahun lalu, Komisi I DPR RI meminta Dewan Pengawas (
Dewas) TVRI untuk segera menunjuk Dirut baru.
Dewas lantas membentuk Panitia Seleksi (Pansel) Dirut Baru, seperti yang tertuang dalam Nota Dinas Plt.Dirut TVRI yang dikeluarkan pada 30 Januari 2020. Dari nota itu kemudian terungkap bahwa manajemen TVRI tidak memperpanjang kontrak dua anggota Pansel, Peri Umar Farouk dan Singgih Budihartono, sehingga keduanya tak lagi terdaftar sebagai tenaga ahli Dewas.
Hal ini mengundang keprihatinan dari Agil Samal sebagai Ketua Komite Penyelamatan TVRI . Ia menilai, hal itu menunjukkan bahwa Dewas kerap terburu-buru mengambil keputusan. Terlebih, sebelumnya Dewas sempat dua kali menerbitkan surat pengumuman pendaftaran calon Dirut definitif lantaran ada salah penulisan tanggal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal ini saya nilai karena sikap terburu-buru dan ketidaktelitian Dewan Pengawas TVRI dalam mengkaji suatu masalah, termasuk proses administrasi," kata Agil melalui siaran pers yang diterima
CNNIndonesia.com, Jumat (7/2).
"Bayangkan saja, orang yang tidak lagi terdaftar sebagai tenaga ahli Dewas malah dilibatkan dalam proses Pansel Dirut definitif TVRI, bagaimana akibat hukumnya terhadap proses ini?"
Agil menyebut tindakan tersebut memberi gambaran tentang kompetensi Dewas. Ia mengaku khawatir melihat sikap Dewas itu, karena akan berpengaruh pada kelanjutan TVRI sebagai lembaga yang masih memiliki tanggung jawab kepada para karyawan.
 Ruang Dewas kala disegel menyusul pemecatan Helmy Yahya selaku Dirut TVRI pada Januari silam. (Foto: CNN Indonesia/ Dhio Faiz) |
"Hal inilah yang kami khawatirkan sejak lama, proses kesejahteraan karyawan akan semakin jauh. Tunjangan kinerja yang dijanjikan akan turun pada tanggal 1 Februari ini justru terkatung-katung akibat ego Dewas untuk memberhentikan Helmy Yahya di saat proses tunjangan kinerja tengah diperjuangkan Helmy," kata Agil.
Ia mengingatkan, dalam rapat dengar pendapat antara Komisi I dengan Dewas LPP TVRI, anggota Komisi I Fraksi PDIP Effendy Simbolon menyarankan Dewas agar mengaktifkan kembali Helmy Yahya di kursi Dirut, sehingga urusan administratif karyawan dapat segera ditangani. Sejauh ini, Dewas tidak memberi tanggapan terhadap usulan tersebut.
Helmy Yahya sendiri mengaku sudah tak berpikir untuk kembali jadi Dirut TVRI. Menurutnya, persoalan yang ia alami selama menduduki jabatan itu sudah sangat berat.
"Saya tidak berpikir saya kembali juga pak, terus terang. Demi Allah, berat pak," kata Helmy saat memberi klarifikasi terkait pemecatannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (28/1).
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR pada Selasa (21/1), Ketua Dewas Arief Hidayat menyebut ada sejumlah alasan pemecatan Helmy Yahya. Salah satunya, karena enam kali keterlambatan pembayaran honor sistem kerabat kerja (SKK) karyawan sejak Desember 2018. Keterlambatan itu direspons karyawan dengan pemogokan siaran pada 10 Januari 2019.
Di sisi lain, karyawan juga bereaksi usai Helmy dinonaktifkan. Pada Januari 2020, ruangan Dewas disegel, diduga dilakukan oleh karyawan TVRI. Kemudian mereka juga menutup beberapa bagian gedung TVRI dengan kain hitam.
"Kain hitam kelam adalah simbol keprihatinan mendalam atas tercabutnya masa depan dan kejayaan TVRI," ucap Agil Samal, Senin (20/1).
[Gambas:Video CNN] (rea)