Lembaga Sensor Film (LSF) akan menggencarkan program sensor mandiri dalam empat tahun ke depan, tepatnya selama masa kepemimpinan baru 2020-2024.
Ketua LSF, Rommy Fibri Hardianto, mengatakan bahwa program tersebut sebenarnya sudah dikerjakan sejak periode sebelumnya.
Rommy menjelaskan bahwa program sensor mandiri merupakan upaya agar masyarakat memilih tontonan sesuai klasifikasi usia. Ia menargetkan program ini menjadi gerakan nasional dalam empat tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gerakan ini untuk memberikan informasi dan literasi publik agar masyarakat mampu memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia," kata Rommy dalam diskusi yang digelar secara virtual, Kamis (9/7).
Rommy sadar bahwa memberikan literasi kepada masyarakat merupakan tugas LSF. Mereka pun akan melakukan sosialisasi secara langsung atau online.
Ia mengklaim LSF sudah sempat bertemu beberapa lapisan masyarakat untuk melakukan sosialisasi. Mereka mengadakan pertemuan dengan seniman, mahasiswa, dan masyarakat di salah satu kota yang tidak ia sebutkan.
"Kalau hanya LSF sendirian kurang optimal. Perlu ada kerja sama dengan pihak kementerian atau lembaga terkait, memberikan literasi pada audiens masing-masing," kata Rommy.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, Hilmar Farid, menegaskan bahwa literasi juga sangat diperlukan dalam penyensoran. Menurutnya, saat ini LSF tidak bisa menyensor film seperti dulu.
"Lembaga sensor enggak bisa lagi berdiri di antara layar dengan penonton. Saat ini, ditutup satu saluran, ada 100 saluran lain menyiarkan apa yang ingin kita tutup," kata Hilmar.
Ia membagi literasi film dalam empat bagian besar, yaitu pendidikan film, penerbitan movie guide, pendampingan orang tua, dan festival film. Dalam hal sensor yang perlu diperhatikan adalah penerbitan movie guide dan pendampingan orang tua.
Pegiat industri film, Olga Lydia, menyambut positif program sensor mandiri karena tidak mengganggu film secara teknis. Ia juga setuju bahwa literasi film Indonesia harus ditingkatkan.
"Di negara demokrasi yang bebas, seperti Indonesia, orang lupa bahwa kebebasan besar punya tanggung jawab yang lebih besar. Masyarakat harus ikut aktif, seperti patuh rating film dan tidak mengajak anak kecil nonton film dewasa," kata Olga.
(adp/has)