Kisah Eddie Van Halen, Keturunan Rangkasbitung Korban Rasial

CNN Indonesia
Rabu, 14 Okt 2020 10:04 WIB
Mendiang Eddie Van Halen ternyata menyimpan kisah getir di masa lalu akibat diskriminasi rasial terhadap dia dan keluarganya.
Eddie Van Halen (kiri) saat konser bareng Michael Jackson. (AP/Carlos Osorio)
Jakarta, CNN Indonesia --

Mendiang Eddie Van Halen ternyata menyimpan kisah getir di masa lalu akibat diskriminasi rasial terhadap dia dan keluarganya.

Perlakuan diskriminasi ras yang dialami oleh Eddie beserta saudara kandungnya, Alex, dipaparkan oleh mantan vokalis Van Halen, David Lee Roth, dalam sebuah Podcast, seperti dilaporkan oleh NBC News dan dikutip oleh majalah People, Senin (12/10).

"Itu menjadi persoalan besar. Keduanya tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang rasis sehingga mereka harus pergi meninggalkan negara (Belanda) itu," kata Roth.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Eddie dan Alex adalah anak dari pasangan Jan van Halen dan Eugenia van Beers.

Sang ibu, Eugenia, adalah seorang peranakan yang lahir di Rangkasbitung, Lebak. Sedangkan sang ayah adalah seorang musisi Belanda tulen.

Keduanya menikah di Jakarta pada 1950, setelah bertemu di dalam sebuah konser hiburan bagi para serdadu Kerajaan Belanda pada 1949. Mereka lantas memutuskan pindah ke Belanda.

Jan yang mahir memainkan alat musik tiup lantas pindah ke Amerika Serikat atas bujukan sang istri. Namun, di sana, mereka juga harus menghadapi perlakuan rasialisme yang sama seperti di Belanda.

FILE -  Eddie Van Halen appears during a news conference in Los Angeles on Aug. 13, 2007. Van Halen, who had battled cancer, died Tuesday, Oct. 6, 2020. He was 65.  (AP Photo/Kevork Djansezian,Ffile)Eddie Van Halen meninggal setelah bertahun-tahun berjuang melawan kanker. (AP/Kevork Djansezian)

Menurut Roth, Eddie dan Alex pernah mengatakan darah campuran yang ada di dalam diri mereka kerap menjadi bahan gunjingan teman sejawat mereka di Belanda. Bahkan, perlakuan seperti itu juga masih mereka terima ketika ayah dan ibunya memutuskan untuk menetap di Pasadena, AS.

"Mereka datang ke Amerika dan tidak bisa bahasa Inggris sebagai bahasa utama pada 1960-an. Wow. Jadi hal seperti itu (rasialisme) sangat mereka rasakan," ujar Roth dikutip dari People.

Apalagi saat meniti kehidupan di AS, keluarga Eddie dan Alex hidup pas-pasan. Sang ibu saat bekerja sebagai asisten rumah tangga, sedangkan ayahnya bermain musik di kelab malam dan mencari tambahan penghasilan sebagai pesuruh.

Dalam sebuah wawancara pada 2017 silam, Eddie mengatakan dia melihat sendiri sang ibu diperlakukan seperti warga kelas dua di Belanda.

"Kami sudah merasakan itu di Belanda, di hari pertama, di sekolah mulai kelas satu. Dan kemudian kami berada di sebuah negara yang berbeda (Amerika Serikat) dan kami tidak bisa berbicara dalam bahasanya (Inggris), dan kamu tidak tahu apa yang harus dilakukan dan hanya ada rasa takut," ujar Eddie.

"Saya sulit menjelaskannya tetapi menurut saya hal itu yang membuat kami kuat karena kami tidak punya pilihan lain," kata Eddie.

Karena latar belakang itu, Eddie dan Alex pun lebih memilih menjalin pertemanan dengan orang-orang kulit hitam saat tinggal di AS. Sebab, dia merasa senasib sebagai kelompok minoritas.

"Sebenarnya orang kulit putih yang kerap merundung. Mereka merobek pekerjaan rumah dan makalah yang saya buat, memaksa saya makan pasir di taman bermain, dan berbagai hal lain, sedangkan anak-anak kulit hitam justru mau berteman dengan saya," kata Eddie.

Meski demikian, kehidupan keluarga Eddie berubah sejak karir mereka sebagai musikus meledak setelah sukses mendirikan grup band Van Halen. Sederet tembang hit mereka berhasil menembus tangga lagu, dan membuat 12 album studio.

Eddie tutup usia pada 6 Oktober akibat kanker dalam usia 65 tahun.

(ayp/bac)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER