Faksi alias faction sageuk juga menjadi jenis yang paling sering digunakan untuk drama sejarah Korea, mulai pertengahan 2000-an hingga saat ini dan biasanya meraih kesuksesan global.
Tipe lainnya adalah fusion sageuk yang sejatinya drama fiksi tapi hanya menggunakan latar belakang sejarah dalam cerita.
Tokoh sejarah di dunia nyata digunakan dalam konteks fiksi. Beberapa di antaranya adalah Gu Family Book, Moon Embracing the Sun, Rooftop Prince, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahan untuk sageuk itu banyak sekali, bukan hanya Joseon saja. Tapi memang Joseon itu yang paling lengkap catatannya dari raja pertama hingga terakhir sampai masuk Memory of the World UNESCO," ucap Suray.
"Jadi untuk seorang penulis, latar belakang tentang Joseon itu beneran lengkap, based on facts atau sedikit fiksi juga bisa." lanjutnya.
Di sisi lain, Suray berpendapat sageuk sejatinya meningkatkan rasa penasaran penonton terutama internasional terhadap sejarah Korea Selatan. Namun, jenis fusion dan faksi sageuk harus diperhatikan lebih hati-hati supaya tak ditelan mentah-mentah oleh penonton.
"Dengan sageuk ini rasa penasaran orang bertambah lho. Ketika menyaksikan seperti 'oh iya kah seperti itu'. Saya jadi baca. Pemerintah Korea tanpa mengeluarkan uang sepeserpun, Korea jadi semakin terkenal. Enggak harus selalu kontemporer," ucapnya.
![]() |
Kondisi seperti itu turut dirasakan Cornisa. Ia amat menikmati drama-drama sejarah bahkan sejak Dae Jang-geum masuk ke Indonesia pada awal 2000-an. Beberapa hal mendorongnya untuk selalu menyaksikan sageuk hingga yang terbaru, Mr. Queen.
"Paling suka nonton sageuk karena senang lihat tradisinya, referensinya juga dari kisah nyata. Bisa liat tradisi-tradisi kerajaan, termasuk kayak aturan sesuai kelas tertentu begitu," cerita Cornisa.
"Apalagi baju kerajaan juga bagus-bagus. Intrik politiknya mencengangkan sih, sampai tragis. Tapi tetap menarik. Kagum juga sama sejarah budaya Korea yang sampai sekarang bangunan sampai kuburan rajanya masih dilestarikan gitu," tuturnya.
Tak hanya Cornisa, Hanna yang merupakan orang Korea juga merasakan hal serupa. Dia menikmati sageuk karena visual yang disajikan, terutama pakaian dari para pemain.
"Suka. Nonton sageuk karena meihat bajunya yang bagus-bagus sama keunikannya begitu," ucap Hanna.
Namun, sama seperti drama pada umumnya, sageuk tak disukai atau dinikmati semua orang. Christina termasuk penonton yang kurang menyukai drama sejarah.
"Emang enggak suka sejarah, jadi enggak begitu suka nonton sageuk," ucapnya.
Begitu pula dengan Ervina. Beberapa hal membuatnya kurang menyukai sageuk. Tetapi alasan utama enggan menyaksikan drama sejarah Korea adalah merasa kurang terhubung dengan jalan cerita dan permasalahan dalam sageuk.
"Itu kan karena kerajaan ya, jadi kayak enggak merasa terhubung aja sama jalan ceritanya. Jadi ya kurang suka aja," tuturnya.
Pada akhirnya, sageuk menjadi salah satu genre drama yang memiliki basis penggemarnya sendiri. Drama kolosal itu pun menjadi sarana untuk menjaga warisan budaya bahkan memperkenalkan sejarah Korea kepada dunia, meskipun sering memicu kontroversi terkait akurasi sejarah pada ceritanya.
(chri/end)