Selain itu, kondisi ayahnya, Kho Kian Po, juga sedang tak baik. Kho Kian Po sakit-sakitan di usia Kho Ping Hoo tengah asyik menimba ilmu. Konon, Kho Kian Po stres akibat merasa bersalah karena orang yang ia beri rekomendasi ke seorang sinshe bukannya sembuh malah meninggal.
Posisi Kho Ping Hoo sebagai putra dan anak pertama membuat dirinya, mau tidak mau, menjadi kepala keluarga. Ia harus mencari nafkah dan mengayomi 10 adiknya. Beruntung, pada 1945, ia berhasil meminang cinta sejatinya, Ong Ros Hwa alias Rosita, sebagai teman setia mengarungi perjalanan kehidupan.
Beragam pekerjaan sempat dilakoni Kho Ping Hoo. Namun, kariernya mulai stabil kala diterima di sebuah perusahaan pengangkutan di Tasikmalaya, Priangan Timur pada 1949, yang kini menjadi bagian dari Jawa Barat. Ia pindah ke sana bersama istrinya yang hamil juga anaknya yang masih kecil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tina menyebut, Kho Ping Hoo menjabat sebagai juru tulis di perusahaan itu. Gajinya pun tak seberapa sehingga Kho Ping Hoo masih harus bekerja sambilan untuk memenuhi kehidupan keluarganya.
"Sehabis pulang kantor itu, dia masih mengajar les. Dulu buat pemasukan, karena gaji dari juru tulis kan kurang," kata Tina mengenang kesulitan keluarganya dulu di Tasikmalaya.
Rosita adalah pendukung Kho Ping Hoo dalam senyap. Ia tak mengeluh akan kondisi suaminya yang masih kekurangan. Baginya, tugas dirinya hanyalah mengelola pemasukan yang dihasilkan oleh sang suami sebaik mungkin untuk kelangsungan keluarga, berapapun jumlah yang mereka dapatkan.
"Memang waktu itu Mama saya hemat. Makanya anak-anaknya sampai sekarang suka makan sayur, karena sudah dibiasakan makan sayur biar hemat. Kalau makan ayam atau daging itu cuma seminggu sekali," kata Tina.
![]() |
Kerasnya kehidupan tak menghilangkan kecerdasan Kho Ping Hoo. Selain kecerdasannya masih terasah melalui pekerjaan sebagai juru tulis dan mengajar bahasa Inggris, Kho Ping Hoo juga mulai menekuni hobi baru: menulis cerita.
Leo Suryadinata, Visiting Senior Fellow ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapore yang meneliti soal cerita silat dan pernah berkorespondensi dengan Kho Ping Hoo semasa hidup, mengatakan dalam webinar Rhoemah Bhinneka, Senin (15/3), bahwa sang penulis mulai mencurahkan imajinasinya dalam bentuk cerita pendek (cerpen) pada 1952.
Kebetulan saat itu, cerita pendek, cerita bersambung, atau pun cerita silat terjemahan merupakan sebuah tren di masyarakat Indonesia.
Tren itu sendiri menurut Leo dalam tulisannya, Cerita Silat Tionghoa di Indonesia: Ulasan Ringkas (Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, 1994), terjadi sejak 1920-an, ketika media juga surat kabar Tionghoa banyak tersebar di tengah masyarakat seiring dengan penambahan populasi orang Tionghoa peranakan di Indonesia.
Kala itu, masyarakat Tionghoa peranakan yang berbahasa Indonesia atau Belanda tersebut semakin banyak. Mereka bukan hanya berasal dari keturunan, tetapi juga orang Tionghoa totok yang berbahasa Tionghoa dan lahir juga berdomisili di Jawa, mengalami perubahan menjadi "peranakan" akibat dorongan nasionalisme.
Media-media Tionghoa peranakan itu kerap memuat cerita bersambung atau pun cerita silat alias cersil di setiap edisinya. Cerita silat itu muncul atas desakan karena masyarakat Tionghoa gemar membaca kisah silat hasil terjemahan roman sejarah Tiongkok. Minat yang terus tinggi akan cersil memunculkan novel-novel silat khas Tionghoa beserta penerjemah-penerjemahnya.
Sementara itu, Kho Ping Hoo tak bisa berbahasa Mandarin meski dirinya adalah seorang Tioghoa. Ia hanya bisa menikmati cersil-cersil tersebut dalam versi terjemahan berbahasa Indonesia dan memahami sejumlah kata dalam bahasa Mandarin yang bertebaran di dalamnya.
"Saya belajar bahasa Tionghoa dari buku (self-study). Jangankan mengarang dalam bahasa Tionghoa, menerjemahkan dari bahasa itu pun saya belum sanggup. Andaikata saya dapat, tentu akan saya buat cersil bahasa Tionghoa," kata Kho Ping Hoo dalam surat korespondensi dirinya dengan Leo tertanggal 6 Januari 1985.
Keterbatasan itu nyatanya jadi peluang buat Kho Ping Hoo. Kegandrungannya dengan cerita silat, ditambah dengan pengalaman hidup beserta daya imajinasinya yang luas, membuat Kho Ping Hoo menjadi pencipta cerita silat alias cersil. Nyatanya, karya dia laku keras.
Kisah Kho Ping Hoo berlanjut ke Babak 2, klik di sini.
(bac)