Sementara itu, menurut pengamat budaya Sunda, Budi Dalton menganggap bahwa distorsi sejarah dalam film berlatar sejarah di Indonesia bukan diakibatkan oleh unsur dramatisasi semata.
Ia menilai bahwa penyebab utama kesalahan cerita atau fakta pada film berlatar sejarah disebabkan oleh banyaknya kekeliruan dalam buku-buku sejarah bangsa Indonesia.
Lihat Juga : |
Seperti cerita mengenai penjajahan di Indonesia yang sering disebutkan bahwa Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Jika dicermati lebih lanjut, Indonesia mendapatkan kemerdekaannya pada 1945 jadi penjajahan Belanda ke Indonesia seharusnya terjadi pada 1595.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sedangkan Belanda dinyatakan merdeka pada 1585, apakah mungkin dalam 10 tahun Belanda tiba-tiba menjajah Indonesia, lalu mereka punya kapal perang yang banyak, Indonesia saja yang sudah 76 tahun merdeka, jangankan menjajah, membereskan urusan negaranya saja susah," ujar Budi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (10/8).
Budi lantas menyebut hal itu tidak sesuai dengan logika sejarah yang semestinya. Parahnya, cerita-cerita yang tidak sesuai dengan logika sejarah tersebut sering menjadi acuan atau sumber bagi banyak pihak termasuk sineas dalam menggarap film berlatar sejarah.
"Jadi logika sejarah itu menurut saya harus bisa ditampilkan oleh para sineas biar setiap orang Indonesia berhak meneliti sejarahnya untuk menemukan jati dirinya," ujar Budi.
Selain faktor itu, Budi juga melihat keterpecahan cerita sejarah antara daerah-daerah yang ada Indonesia berperan besar dalam menciptakan distorsi dalam film berlatar sejarah.
Ia melihat bahwa cerita-cerita sejarah daerah malah berbenturan dengan cerita dalam sejarah umum yang dipahami secara luas.
![]() |
"Sebetulnya ada banyak referensi bacaan tapi sering tidak saling terhubung, seperti parsial, jadi sejarah Jogja seperti ini, Surabaya seperti ini, nah sejarah utuh Indonesia [malah] belum pernah divisualkan," ujar Budi.
Kondisi ini sebenarnya bisa diatasi dengan jalan pemutakhiran atau penelitian ulang sejarah bangsa Indonesia. Hal itu dikarenakan sejarah di Indonesia ditulis atau didokumentasikan oleh beberapa ideologi atau kelompok yang pernah berkuasa.
Penulisan ulang sejarah tersebut dapat dilakukan melalui wawancara dengan para pejuang dan saksi sejarah yang masih hidup dalam bentuk film dokumenter atau semacam true-story.
"Pada saat rekonstruksi dibuat tentunya ini akan menyinggung beberapa berapa orang yang memang pelaku-pelakunya tapi kalau saya pikir ini kan 2021 ya, saya pikir sudah perlu ada semacam pengkajian ulang mengenai sejarah bangsa yang memang dampaknya itu bisa terasa oleh bangsa Indonesia," ujar Budi.
Hal ini juga dipandang penting oleh sejarawan JJ Rizal yang sejauh ini belum melihat ada tayangan berlatar cerita sejarah yang sangat kental menampilkan unsur sejarah bangsa Indonesia.
"Sutradara membuat film sejarah, tapi [cerita] sejarahnya 'ngaco', itu kan aneh, jadi itu hanya menjadi tontonan, bukan sebagai sejarah, bukan pendidikan sejarah, dan orang yang menonton jadi tidak peduli sejarahnya," ujar JJ Rizal kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/8).
Sejarawan lulusan Universitas Indonesia tersebut lebih lanjut memandang dampak tidak ada tontonan yang menarik dari sisi sejarah berdampak pada memudarnya nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia.
"Karena [sutradara] yang membuat film saja tidak peduli sejarahnya, saya dan juga orang lain yang menonton jadi nggak peduli wawasan sejarahnya, walau saya orang sejarah, karena saya tahu itu tidak mengandung sejarah," lanjutnya.
Itulah mengapa, saat membuat film berlatar sejarah, sutradara tetap harus mengedepankan logika sejarah daripada mendramatisir adegan karena bagaimanapun juga, film merupakan salah satunya metode penyampaian informasi yang paling mudah ditangkap.
(nly/fjr)