Film Berlatar Sejarah: Irisan Referensi dan Konten Hiburan

CNN Indonesia
Minggu, 15 Agu 2021 06:50 WIB
Beberapa pihak menyebut bahwa baiknya film berlatar sejarah tak serta merta dijadikan referensi sejarah. Ada baiknya tak lupa dipandang sebagai sebuah hiburan.
Film Guru Bangsa: Tjokroaminoto (Foto: Picklock Production via Youtube Tjokro Movie)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sedikit dari kita yang hidup di masa ini tahu bagaimana persisnya momen proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Itu waktu yang amat lampau.

Sejumlah sineas coba mengkonstruksikan momen-momen bersejarah di masa lampau melalui adegan film. Tak cuma hari kemerdekaan, begitu pula masa-masa penjajahan sebelumnya.

Sudah sejak 1970-an memang, namun film Merah Putih (2009) membuka kembali kran tren film berlatar sejarah sehingga bermunculan sederet judul film biopik kepahlawanan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sulit mengatakan tidak, bahwa sedikit banyak adegan yang dipotret dalam film kemudian menjadi referensi catatan sejarah terkait, lengkap dengan dramatisasi di dalamnya.

Masalahnya, reka adegan yang dibumbui dramatisasi tak selamanya akurat. Sejarawan JJ Rizal melihat hal tersebut sebagai sebuah persoalan, bahwa adanya ketidaksesuaian yang ditampilkan.

"Persoalan besarnya apakah film itu betul-betul menggambarkan sejarah dari tokoh-tokoh tersebut dan tantangan zaman dan jiwa zaman yang ada pada masa si tokoh?" ujar Rizal pada CNNIndonesia.com, Senin (9/8).

Lihat Juga :

Untuk persoalan yang digambarkan, Rizal menyebut harusnya film berlatar sejarah lahir dari riset yang memadai.

"Malah kadang bayaran aktornya lebih besar daripada bayaran researcher-nya," tutur Rizal.

"Jadi para perisetnya itu, para sejarawannya itu yang betul-betul diberi perhatian yang besar, bukan malah aktornya," lanjutnya.

Sementara itu, dramatisasi dianggap penting dan wajar saja oleh pengamat film Leila S. Chudori. Meski berlatar sejarah, film fiksi ia nilai sebagai wadah bebas ekspresi.

Lihat Juga :

"Kalau yang namanya fiksi saya tidak mengenal kata distorsi karena ini fiksi, fiksi itu payungnya dari segala payung ini adalah fiksi," tutur Leila pada CNNIndonesia.com, Jumat (6/8).

"Namanya fiksi itu sutradaranya itu boleh melakukan yang namanya Artistic License atau Creative License," lanjutnya.

Leila menyebut, selama itu bukanlah sebuah dokumenter atau karya jurnalistik, maka segala perbedaan dengan kenyataan atau fakta sejarah harusnya tidak menjadi masalah.

Bagaimana para sineas menafsirkan sejarah ke dalam film? Baca di halaman 2...

Dramatisasi dan Hak Sineas Menafsirkan Sejarah

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER