Jakarta, CNN Indonesia --
Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menjadi sorotan sejak film garapan Edwin ini meraih penghargaan Golden Leopard kategori kompetisi internasional (Concorso Internazionale) dalam Festival Film Internasional Locarno 2021.
Kemenangan ini juga menjanjikan Edwin, selaku sutradara film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, sebagai orang Indonesia pertama yang memenangkan anugerah Golden Leopard.
Bukan hanya menjadi kebanggaan tersendiri untuk Edwin, penghargaan tersebut juga menjadi stimulus untuk tim produksi di Palari Film.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Muhammad Zaidy dan Meiske Taurisia, selaku produser film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas itu pun yakin film ini memiliki peluang besar untuk menarik audiens internasional dan nasional seperti yang menjadi target mereka sejak awal proyek film ini dibuat.
Lewat karya itu juga Muhammad Zaidy dan Meiske Taurisia, mendorong pemerintah Indonesia untuk lebih bersungguh-sungguh dalam menangani pandemi Covid-19 agar bioskop bisa segera dibuka. Sehingga film yang kental dengan wacana budaya patriarki, khususnya maskulinitas ini bisa segera dinikmati penikmat film di Indonesia.
Berikut wawancara CNNIndonesia.com dengan Muhammad Zaidy dan Meiske Taurisia:
Bagaimana awalnya Anda tertarik membuat film ini?
Meiske Taurisia:
Sebenarnya idenya sendiri datang dari Edwin sudah dari tahun 2016. Waktu itu Edwin menawarkan ide untuk membuat film dari salah satu buku karya Eka Kurniawan yang judulnya Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Dan setelah selesai membaca buku tersebut, saya tertarik juga. Lalu saya mengajak Edwin dan Mas Edi [Muhammad Zaidy] untuk berdiskusi dan dari sana kita mulai prosesnya.
Muhammad Zaidy:
Kalau saya sendiri sudah tahu soal Eka Kurniawan. Dan buku Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas itu memang buat saya pribadi yang paling grabbing. Lebih spesial. Lebih kaya visual.
Saya menghabiskan 12 jam saja untuk menghabiskan 250 halaman buku itu karena sewaktu membacanya saya memang langsung tertarik dan ingin mengadaptasinya jadi film.
Sejak awal juga film ini harus disutradarai oleh Edwin karena memang ide awalnya juga dari Edwin. Tapi kami sendiri melihat bahwa style di film ini cocok sekali dikawinkan dengan Edwin.
Bahkan kalau melihat respons dari teman-teman filmmakers atau netizen di Twitter, saat berita novel ini akan dibuat film, semua orang memang memilih Edwin yang paling cocok untuk mengarahkan film ini.
Jadi memang dari dulu, saya, Mbak Dede [Meiske Taurisia] dan Edwin, sudah menjadi partner di Palari Films. Tapi tidak selalu bersama-sama, menunjuk Edwin sebagai sutradara. Hanya saja dalam konteks ini memang Edwin menjadi pemberi gagasan untuk membuka kerjasama dengan Eka Kurniawan kepada kami.
 Wawancara eksklusif dengan produser dan sutradara Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. (Foto: Arsip Palari Film) |
Mengingat ini bukan film pertama yang diangkat dari novel, apa pertimbangan kalian mengangkat cerita dari novel jadi film?
Meiske Taurisia:
Sebenarnya Palari Film dalam membuat film entah itu dari novel atau original, saya rasa itu kembali lagi pada pertanyaan kenapa saya tertarik membuat sebuah film.
Kalau saya ingin memotret orang-orang di Indonesia. Ada banyak hal yang kita rasakan di sini dan saya selalu tertarik dengan potret-potret manusianya. Itu juga yang membuat saya tertarik menonton film-film yang bukan dari Indonesia karena saya menonton untuk melihat potret orang-orang di belahan dunia lain.
Kembali lagi. Itu yang menjadi pertimbangan kami memilih cerita dalam novel yang layak diangkat menjadi film.
Dari film-film yang telah dibuat oleh Palari Film, baik itu original maupun adaptasi, esensinya sama yaitu kami ingin menyuguhkan potret manusia-manusia. Misalnya di film Posesif, kami ingin menampilkan potret percintaan remaja yang berpacaran itu di dalamnya ada kekerasan.
Kemudian di film Aruna & Lidahnya, kami ingin menampilkan kegelisahan orang-orang kalangan profesional, di usia 30-an yang belum berkeluarga, dan permasalahan seputar pekerjaan dan personal.
Lalu di film Ali & Ratu Ratu Queens, kami menampilkan orang-orang Indonesia yang merantau, mulai dari yang remaja sampai yang tante-tante, dan di situ juga kita membahas soal mengejar mimpi keluarga.
Sementara di film Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, kami ingin memotret tentang kondisi di Indonesia pada tahun 80-90an.
Kami membawa sebuah pertanyaan besar bagaimana orang-orang di zaman itu dan bagaimana hubungan antar manusia kala itu. Itu karena kami ingin melihat bagaimana dinamika di tahun itu dengan kondisi sekarang. Apakah sekarang lebih baik. Ataukah dulu lebih baik. Ataukah dua-duanya tidak baik. Lalu bagaimana agar sekarang jadi lebih baik.
Muhammad Zaidy:
Saya sudah memiliki checklist. Jadi yang pertama alasan novel perlu diadaptasi ke dalam film adalah dari segi ceritanya harus membuat kita tergugah. Jadi yang pertama itu kami harus suka dengan ceritanya. Tapi tentunya kita juga mempertimbangkan elemen-elemen lainnya sebelum memutuskannya. Jadi tidak soal suka tidak suka semata.
Lalu, seberapa penting cerita itu layak dibuat film?
Lalu untuk buku Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas ini, selain ceritanya yang menarik, buku ini juga kaya dengan muatan sosial-politik.
Jadi saya rasa buku ini sangat unik bahkan hampir dibilang tidak ada duanya. Saya dan mungkin pembaca lain juga merasa sayang kalau ceritanya dilewatkan. Makanya, kami adaptasi menjadi sebuah film. Kebetulan saya sama Mbak Dede [Meiske] dan Edwin sudah mengambil hak adaptasi film dari buku ini sejak 2016.
Jika melihat di trailernya, film ini sarat adegan kekerasan fisik bagaimana latihan aktornya?
Meiske Taurisia:
Jadi memang secara khusus film ini ada action-nya atau adegan perkelahiannya, jadi tentu ada latihan. Kami melibatkan action koreografer yang merangkai koreografi adegan perkelahiannya. Kami melibatkan Abah Dinar Safari sebagai Action-Choreographer.
Lalu, seperti tadi dibilang di trailer ada adegan action antara Ajo kawir dan Iteung tentunya keduanya sudah latihan. Kami syuting sudah sejak akhir Februari 2020. Tapi, tiga bulan sebelumnya mereka [pemeran] sudah latihan fisik. Jadi sejak Desember atau malah November mereka sudah mulai pemanasan. Nah kemudian ketika syuting, mayoritas adegan perkelahian dilakukan oleh para pemain langsung.
Sutradara dan produser menguliti soal toxic masculinity di film ini, baca di halaman selanjutnya...
Apa misi Anda membahas soal seks, impotensi di film ini?
Muhammad Zaidy:
Bukunya sendiri memang mengangkat tema-tema tersebut. Tapi di luar itu, masalah seks dan impotensi, sebenarnya kami juga ingin membahas tentang Toxic Masculinity, khususnya culture of macho, budaya patriarki di Indonesia itu yang menjadi bagian dari cerita film ini.
Lalu dari karakter utamanya yang ceritanya impoten. Tentunya hal ini tidak bisa dihindari. Dan saya pribadi melihat bahwa hal ini memang perlu dibahas.
Kita tahu untuk masalah ini memang jarang dibicarakan dan mestinya bisa bicarakan karena ini bukan tema-tema yang patut dihindari karena bentuknya bukan eksploitatif.
Jadi ini adalah sesuatu yang penting dibicarakan untuk melihat tentang impotensi di Indonesia, tentang budaya macho dan menurut saya pribadi, kita tidak lagi melihat itu sebagai sesuatu yang sensitif dan perlu kita hindari.
Meiske Taurisia:
Jadi penting untuk digaris bawahi bahwa film ini kami ingin membawa soal topik toxic masculinity dengan kondisi sekarang lewat film yang setting-nya 80-an 90-an. Di film itu nanti kita akan melihat betapa intensnya budaya itu. Dan ternyata budaya itu bukan budaya yang baru ada sekarang. Tapi sejak dulu pun itu sudah ada.
Lalu pertanyaannya adalah apakah kita akan terus mempraktekkan budaya-budaya itu? Untuk apa sih dipertahankan? Untuk kebanggaan kah? Untuk sebuah pertunjukan kekuasaan kah?
Dari situ, akan muncul pertanyaan lain apakah budaya toxic masculinity itu akan dibiarkan?
Bisa diceritakan lagi soal promo film yang ramai beberapa waktu lalu cerita awalnya bagaimana?
Muhammad Zaidy:
Poin pertama yang perlu dipertegas adalah kami memiliki waktu yang sangat panjang untuk mengawal film ini. Jadi waktu itu, kami pertama memperkenalkan film ini ke media dan melakukan mini press junket sekitar awal tahun 2020 sehingga kami sudah paham bahwa kami harus tetap memaintain pemberitaan film ini sampai akhirnya bisa tayang.
Apalagi dari awal 2020 sampai sekarang filmnya belum bisa dirilis. Baru tayang di festival-festival jadi memang kami masih mempunyai beberapa milestone yang harus dijaga sampai ini tayang.
Jadi secara perlahan-lahan kami mulai dengan memperkenalkan para pemainnya. Waktu itu kami memperkenalkan Marthino Lio dan Sal Priadi sebagai pemeran utama dan pemeran pendukung. Sebelumnya kami memperkenalkan Ladya Cheryl, lalu disusul dua pemain lain [Reza Rahadian dan Ratu Felicia].
Lalu kami memanfaatkan pengikut para pembaca bukunya [Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas] paling tidak sudah mengetahui topik apa yang kami bicarakan. Jadi sebenarnya kami bukan hanya sekedar membuat gimmick tapi juga berusaha tidak lepas dari topiknya.
Jadi kami sebenarnya sudah mendiskusikannya terlebih dahulu untuk mencuri perhatian agar tetap dengan konteks filmnya tapi juga unik.
Dari situ tercetuslah ide ini itu. Kami juga bekerja sama dengan influencer di Twitter dan beredarlah fotonya Sal Priadi membeli obat kuat. Di situ kami ingin menggiring sebuah perbincangan di publik tentang obat kuat, tentang budaya macho, terutama opini-opini masyarakat tentang hal itu. Jadi itu bukan sekedar gimmick tapi masih nyambung dengan filmnya.
 Film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas diangkat dari novel. (Arsip Palari Film) |
Sejauh ini film ini tayang di festival, apakah film ini sejak awal memang dibuat dengan tujuan untuk tayang di festival-festival?
Meiske Taurisia:
Sebelum menjawab pertanyaannya, saya ingin menambahkan jawaban tentang adegan perkelahian dan sarat kekerasan fisik yang sudah disebutkan di awal, jadi ini film action laga karena itu tadi kita menampilkan adegan perkelahian, lalu ada latihan, jadi sebenarnya yang perlu dipahami bahwa di film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas ini kita akan melihat adegan-adegan kekerasan tapi itu karena memang akarnya dari toxic masculinity.
Ketika berbicara soal toxic masculinity, itu kan budaya cowok, budaya yang keras dan sarat dengan kekerasan fisik nah justru di kami ingin mempertanyakan budaya itu di film ini. Apakah budaya kekerasan ini perlu diteruskan? dan nanti saat menonton filmnya, kekerasan fisik di film itu seakan-akan menjadi satu-satunya bahasa yang mudah dipahami oleh semua orang baik laki-laki ataupun perempuan. Karena budaya kekerasan seperti itu ada di kehidupan sehari-hari.
Jatuh cinta pun nanti akan dibawakan lewat sebuah adegan perkelahian karena memang bahasa dari toxic masculinity itu kekerasan fisik di film ini. Jadi saya rasa yang harus digarisbawahi bahwa film menggambarkan bagaimana bahasa kekerasan itu akarnya dari toxic masculinity yang tumbuh subur.
Lalu soal festival film, dari kami kembali lagi bahwa film itu kan produk budaya yang bentuknya seni ekspresi artistik, lalu kita dengar ada film yang box office, itu adalah spektrum lain, yang memang ada film yang tidak hanya menjadi produk budaya tapi juga memiliki nilai ekonominya.
Namun ketika berbicara soal film festival berarti sedang menekankan film sebagai produk budaya. Festival film itu adalah industri untuk film budaya yaitu film-film yang bisa dibilang bobot budayanya lebih berat. Jadi festival film itu adalah outlet-nya film budaya.
Untuk film ini, apakah memang dipersiapkan untuk festival film bisa dibilang iya. Sebelumnya Palari Film juga sudah memproduksi Posesif dan Aruna & Lidahnya, untuk dua film ini dari awal kami sudah memutuskan akan dibawa ke bioskop, dan waktu kami memproduksi film Ali dan Ratu-ratu Queen karena kondisinya seperti ini jadi yang memungkinkan outlet terbesar adalah lewat platform streaming.
Muhammad Zaidy:
Jadi kami rute untuk mempromosikan film ini, dari mana mau ke mana dulu sebelum akhirnya bertemu dengan para penonton di Indonesia. Kadang-kadang bisa menggunakan cara sebaliknya, other way around, dari bioskop lokal dulu baru keluar tergantung tipe filmnya.
Dan film ini memang rutenya adalah melalui world premiere dulu di festival jadi ibaratnya seperti konser musik, keliling dulu, pindah-pindah, sampai akhirnya pulang ke Indonesia bertemu dengan penontonnya yang mungkin paling banyak di sini.
Setelah berkeliling di beberapa negara itu juga menjadi prestige untuk film ini, seperti bisa world premiere di festival film besar dunia dan juga berkeliling ke festival-festival besar lainnya. Jadi memang secara publicity tentunya bisa membuka pemberitaan terhadap film ini yang tidak hanya di lokal tapi juga internasional dan tentunya bertemu dengan penonton penonton lain.
Artinya film ini seperti ini punya market, yakni tidak hanya di lokal tapi juga internasional. Dan harapannya kemudian semoga film juga terdistribusikan di luar festival dan semoga film ini bisa tayang di bioskop di luar negeri. Bisa juga nanti film ini tayang secara digital setelah di bioskop.
Meiske Taurisia:
Kemudian dari novelnya juga sudah dipublish 7 atau 10 negara saya lupa detailnya. Jadi memang potensi market internasional ini juga sudah kami desain sejak awal bahwa film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah tantangan untuk Palari Film supaya kita bisa juga bawa film Indonesia ke internasional.
Dan untuk produksinya sendiri juga kami bekerjasama dengan kru internasional, Singapura dan Jerman. Jadi elemen kerjasama internasional itu juga sesuatu yang kita desain sejak awal.
Lalu menurut kalian apa yang membuat film ini menang di Festival Film Internasional Busan 2016?
Meiske Taurisia:
Kalau menurut saya, seperti yang sudah dibahas di awal, saya yakin teman-teman di festival itu, misalnya di Busan yang membaca skenario tahap paling pertama, itu tertarik nomor satu adalah film ini punya 'suara'.
Saya rasa itu yang paling penting. Bahwa ini suara dari Indonesia yang seringkali dilupakan. Jadi komunitas internasional itu tertarik untuk mendengar suara-suara yang selama ini tidak banyak diangkat di Indonesia.
Selain suara, juga tentunya karena mereka tertarik juga dengan sutradaranya yakni Edwin. Kalian juga tahu Edwin memiliki track record yang baik di dunia internasional. Dia pernah memenangkan award dengan film pendeknya di 2005, film pertamanya Babi Buta yang Ingin Terbang juga menang di FIPRESCI, kemudian dia juga menang award lewat Postcard From the Zoo, jadi track record itu juga yang membuat dunia internasional sudah mengantisipasi karya Edwin lain.
[Gambas:Photo CNN]