Bukunya sendiri memang mengangkat tema-tema tersebut. Tapi di luar itu, masalah seks dan impotensi, sebenarnya kami juga ingin membahas tentang Toxic Masculinity, khususnya culture of macho, budaya patriarki di Indonesia itu yang menjadi bagian dari cerita film ini.
Lalu dari karakter utamanya yang ceritanya impoten. Tentunya hal ini tidak bisa dihindari. Dan saya pribadi melihat bahwa hal ini memang perlu dibahas.
Kita tahu untuk masalah ini memang jarang dibicarakan dan mestinya bisa bicarakan karena ini bukan tema-tema yang patut dihindari karena bentuknya bukan eksploitatif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadi ini adalah sesuatu yang penting dibicarakan untuk melihat tentang impotensi di Indonesia, tentang budaya macho dan menurut saya pribadi, kita tidak lagi melihat itu sebagai sesuatu yang sensitif dan perlu kita hindari.
Jadi penting untuk digaris bawahi bahwa film ini kami ingin membawa soal topik toxic masculinity dengan kondisi sekarang lewat film yang setting-nya 80-an 90-an. Di film itu nanti kita akan melihat betapa intensnya budaya itu. Dan ternyata budaya itu bukan budaya yang baru ada sekarang. Tapi sejak dulu pun itu sudah ada.
Lalu pertanyaannya adalah apakah kita akan terus mempraktekkan budaya-budaya itu? Untuk apa sih dipertahankan? Untuk kebanggaan kah? Untuk sebuah pertunjukan kekuasaan kah?
Dari situ, akan muncul pertanyaan lain apakah budaya toxic masculinity itu akan dibiarkan?
Poin pertama yang perlu dipertegas adalah kami memiliki waktu yang sangat panjang untuk mengawal film ini. Jadi waktu itu, kami pertama memperkenalkan film ini ke media dan melakukan mini press junket sekitar awal tahun 2020 sehingga kami sudah paham bahwa kami harus tetap memaintain pemberitaan film ini sampai akhirnya bisa tayang.
Apalagi dari awal 2020 sampai sekarang filmnya belum bisa dirilis. Baru tayang di festival-festival jadi memang kami masih mempunyai beberapa milestone yang harus dijaga sampai ini tayang.
Jadi secara perlahan-lahan kami mulai dengan memperkenalkan para pemainnya. Waktu itu kami memperkenalkan Marthino Lio dan Sal Priadi sebagai pemeran utama dan pemeran pendukung. Sebelumnya kami memperkenalkan Ladya Cheryl, lalu disusul dua pemain lain [Reza Rahadian dan Ratu Felicia].
Lalu kami memanfaatkan pengikut para pembaca bukunya [Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas] paling tidak sudah mengetahui topik apa yang kami bicarakan. Jadi sebenarnya kami bukan hanya sekedar membuat gimmick tapi juga berusaha tidak lepas dari topiknya.
Jadi kami sebenarnya sudah mendiskusikannya terlebih dahulu untuk mencuri perhatian agar tetap dengan konteks filmnya tapi juga unik.
Dari situ tercetuslah ide ini itu. Kami juga bekerja sama dengan influencer di Twitter dan beredarlah fotonya Sal Priadi membeli obat kuat. Di situ kami ingin menggiring sebuah perbincangan di publik tentang obat kuat, tentang budaya macho, terutama opini-opini masyarakat tentang hal itu. Jadi itu bukan sekedar gimmick tapi masih nyambung dengan filmnya.
![]() |
Lihat Juga : |
Sebelum menjawab pertanyaannya, saya ingin menambahkan jawaban tentang adegan perkelahian dan sarat kekerasan fisik yang sudah disebutkan di awal, jadi ini film action laga karena itu tadi kita menampilkan adegan perkelahian, lalu ada latihan, jadi sebenarnya yang perlu dipahami bahwa di film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas ini kita akan melihat adegan-adegan kekerasan tapi itu karena memang akarnya dari toxic masculinity.
Ketika berbicara soal toxic masculinity, itu kan budaya cowok, budaya yang keras dan sarat dengan kekerasan fisik nah justru di kami ingin mempertanyakan budaya itu di film ini. Apakah budaya kekerasan ini perlu diteruskan? dan nanti saat menonton filmnya, kekerasan fisik di film itu seakan-akan menjadi satu-satunya bahasa yang mudah dipahami oleh semua orang baik laki-laki ataupun perempuan. Karena budaya kekerasan seperti itu ada di kehidupan sehari-hari.
Jatuh cinta pun nanti akan dibawakan lewat sebuah adegan perkelahian karena memang bahasa dari toxic masculinity itu kekerasan fisik di film ini. Jadi saya rasa yang harus digarisbawahi bahwa film menggambarkan bagaimana bahasa kekerasan itu akarnya dari toxic masculinity yang tumbuh subur.
Lalu soal festival film, dari kami kembali lagi bahwa film itu kan produk budaya yang bentuknya seni ekspresi artistik, lalu kita dengar ada film yang box office, itu adalah spektrum lain, yang memang ada film yang tidak hanya menjadi produk budaya tapi juga memiliki nilai ekonominya.
Namun ketika berbicara soal film festival berarti sedang menekankan film sebagai produk budaya. Festival film itu adalah industri untuk film budaya yaitu film-film yang bisa dibilang bobot budayanya lebih berat. Jadi festival film itu adalah outlet-nya film budaya.
Untuk film ini, apakah memang dipersiapkan untuk festival film bisa dibilang iya. Sebelumnya Palari Film juga sudah memproduksi Posesif dan Aruna & Lidahnya, untuk dua film ini dari awal kami sudah memutuskan akan dibawa ke bioskop, dan waktu kami memproduksi film Ali dan Ratu-ratu Queen karena kondisinya seperti ini jadi yang memungkinkan outlet terbesar adalah lewat platform streaming.
Jadi kami rute untuk mempromosikan film ini, dari mana mau ke mana dulu sebelum akhirnya bertemu dengan para penonton di Indonesia. Kadang-kadang bisa menggunakan cara sebaliknya, other way around, dari bioskop lokal dulu baru keluar tergantung tipe filmnya.
Dan film ini memang rutenya adalah melalui world premiere dulu di festival jadi ibaratnya seperti konser musik, keliling dulu, pindah-pindah, sampai akhirnya pulang ke Indonesia bertemu dengan penontonnya yang mungkin paling banyak di sini.
Setelah berkeliling di beberapa negara itu juga menjadi prestige untuk film ini, seperti bisa world premiere di festival film besar dunia dan juga berkeliling ke festival-festival besar lainnya. Jadi memang secara publicity tentunya bisa membuka pemberitaan terhadap film ini yang tidak hanya di lokal tapi juga internasional dan tentunya bertemu dengan penonton penonton lain.
Artinya film ini seperti ini punya market, yakni tidak hanya di lokal tapi juga internasional. Dan harapannya kemudian semoga film juga terdistribusikan di luar festival dan semoga film ini bisa tayang di bioskop di luar negeri. Bisa juga nanti film ini tayang secara digital setelah di bioskop.
Lihat Juga : |
Kemudian dari novelnya juga sudah dipublish 7 atau 10 negara saya lupa detailnya. Jadi memang potensi market internasional ini juga sudah kami desain sejak awal bahwa film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah tantangan untuk Palari Film supaya kita bisa juga bawa film Indonesia ke internasional.
Dan untuk produksinya sendiri juga kami bekerjasama dengan kru internasional, Singapura dan Jerman. Jadi elemen kerjasama internasional itu juga sesuatu yang kita desain sejak awal.
Kalau menurut saya, seperti yang sudah dibahas di awal, saya yakin teman-teman di festival itu, misalnya di Busan yang membaca skenario tahap paling pertama, itu tertarik nomor satu adalah film ini punya 'suara'.
Saya rasa itu yang paling penting. Bahwa ini suara dari Indonesia yang seringkali dilupakan. Jadi komunitas internasional itu tertarik untuk mendengar suara-suara yang selama ini tidak banyak diangkat di Indonesia.
Selain suara, juga tentunya karena mereka tertarik juga dengan sutradaranya yakni Edwin. Kalian juga tahu Edwin memiliki track record yang baik di dunia internasional. Dia pernah memenangkan award dengan film pendeknya di 2005, film pertamanya Babi Buta yang Ingin Terbang juga menang di FIPRESCI, kemudian dia juga menang award lewat Postcard From the Zoo, jadi track record itu juga yang membuat dunia internasional sudah mengantisipasi karya Edwin lain.
(bac)