Jakarta, CNN Indonesia --
Ada aksi ada reaksi. Ada film ada review, pujian, bahkan kritik. Begitulah dinamika ekosistem perfilman pada umumnya.
Namun, tak jarang review dan kritik dinilai 'salah' oleh filmmaker yang jadi sasaran, atau bahkan dari sesama reviewer atau pengulas film.
Lantas, review dan kritik film yang baik itu seperti apa ya? Mari kita simak pendapat beberapa pihak yang dihimpun oleh CNNIndonesia.com:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seno Adi Gumira - Sastrawan/Ketua Dewan Kesenian Jakarta
Dalam hal ini kritik jurnalistik, diutamakan memberikan keterangan informasi di balik film itu. Jadi misalnya, "Home alone" itu dibuat bukan bulan Desember tapi kok ada saljunya. Itu jurnalisme film harusnya bisa memberi tahu soal itu, bahwa itu buatan dan ada teknik-tekniknya. Jadi lebih informatif.
Pendekatan yang benar adalah seorang kritikus itu bisa mengurai, bukan menilai. Jadi yang menilai itu menganggap film sebagai esensi, substansi yang bisa dinilai bagus atau tidak.
Andibachtiar Yusuf - Sutradara
Yang bisa kasi perspektif yang lain. Walau belum tentu juga si kritikus sadar sih dia sudah melakukan itu.
Misalnya gue pernah dibilang 'kegenitan, seperti memamerkan pengetahuannya yang spesifik itu. Kan jadi sadar kalau anu-anu.
Eric Sasono - Penulis Skenario Film
Kritik film itu adalah upaya untuk men-generate meaning dan sebenarnya generate meaning ini tidak hanya milik kritikus, penonton pun ketika menonton film juga men-generate meaning, memunculkan makna-makna dari satu film.
Nah bedanya adalah kritikus kemudian menuliskan, mengekspresikan,dan seterusnya.
Bagi saya (kritik film) harus cukup membangun argumentasi, ada pendapat yang dia sampaikan kemudian ada yang mendukung pendukung tersebut apakah itu data, ilustrasi, contoh.
Nah yang menurut saya baik adalah apabila dia bisa mensubstansiasi lewat film-film yang dia tonton, ada aspek-aspek formal yang dia bahas untuk membuktikan ini lah pendapat saya tentang film ini, kenapa dia begini.
Simak pendapat mengenai review film ideal lainnya di halaman berikutnya..
Satrio Pamungkas - Akademisi Film Institut Kesenian Jakarta
Jadi kritik yang bagus atau tidak bagus itu sudah sangat relativitas tergantung kita mau taruh posisi di mana cara berpikirnya.
Nah kalau targetnya adalah masyarakat dominan, wacana dominan adalah masyarakat yang tidak semua mengerti film pastinya. Masyarakat Indonesia ini tidak semuanya mengerti film karena kebanyakan itu penikmat film.
Jadi kalau kamu mau kritik yang baik, ya kamu harus posisikan di posisi mereka.
Dia harus pastikan dirinya tahu betul film secara keseluruhan, proses film, sejarah film, lalu teori-teori film dan segala macam itu. Baru dia bisa dibilang sebagai kritikus film yang punya potensi besar bahwa film ini dalam angle filmist itu baik atau buruk.
Rasyid Baihaqi - Reviewer Cine Crib
Review yang jujur. Kalau bagus, bagusnya apa. Kalau jelek, jeleknya apa. Meskipun film bukan cuma soal bagus dan jelek. Banyak aspek lain yang menarik untuk dibahas, bisa secara teks, subteks, maupun konteks.
Indriastuti - Pegawai Swasta
Tidak ada benar, tidak ada salah. Kita bisa eksplor 3 hal. Kita bisa membahas isi ceritanya, kita bisa membahas bagaimana sutradara mengemas filmnya.
Ketiga, kita bisa mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, atau fenomena di masyarakat. Bahkan kita juga bisa mengaitkan dengan teori ilmiah, atau data-data terkait.
Chandra Thamrin - Pekerja Media
Disampaikan secara jujur, apa adanya. Toh berkaitan dengan opini.
[Gambas:Infografis CNN]
Khara Gracia - Pegawai Swasta
Review film itu wajar bersifat sangat subjektif. Menurut saya seorang reviewers harusnya bisa memetakan karya ke dalam konteks di mana karya itu hadir.
Raiy Ichwana - Penulis
Menyampaikannya tidak dengan cara menyudutkan. Kalau mau mengkritik, tentu kritik yang membangun.
Benedictus Gemilang - Pegawai Swasta
Penonton cukup memberikan review secara jujur, apa yang dipikirkan dan dirasakan tepat setelah menonton film.