Jadi kritik yang bagus atau tidak bagus itu sudah sangat relativitas tergantung kita mau taruh posisi di mana cara berpikirnya.
Nah kalau targetnya adalah masyarakat dominan, wacana dominan adalah masyarakat yang tidak semua mengerti film pastinya. Masyarakat Indonesia ini tidak semuanya mengerti film karena kebanyakan itu penikmat film.
Jadi kalau kamu mau kritik yang baik, ya kamu harus posisikan di posisi mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia harus pastikan dirinya tahu betul film secara keseluruhan, proses film, sejarah film, lalu teori-teori film dan segala macam itu. Baru dia bisa dibilang sebagai kritikus film yang punya potensi besar bahwa film ini dalam angle filmist itu baik atau buruk.
Review yang jujur. Kalau bagus, bagusnya apa. Kalau jelek, jeleknya apa. Meskipun film bukan cuma soal bagus dan jelek. Banyak aspek lain yang menarik untuk dibahas, bisa secara teks, subteks, maupun konteks.
Tidak ada benar, tidak ada salah. Kita bisa eksplor 3 hal. Kita bisa membahas isi ceritanya, kita bisa membahas bagaimana sutradara mengemas filmnya.
Ketiga, kita bisa mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, atau fenomena di masyarakat. Bahkan kita juga bisa mengaitkan dengan teori ilmiah, atau data-data terkait.
Disampaikan secara jujur, apa adanya. Toh berkaitan dengan opini.
Review film itu wajar bersifat sangat subjektif. Menurut saya seorang reviewers harusnya bisa memetakan karya ke dalam konteks di mana karya itu hadir.
Menyampaikannya tidak dengan cara menyudutkan. Kalau mau mengkritik, tentu kritik yang membangun.
Penonton cukup memberikan review secara jujur, apa yang dipikirkan dan dirasakan tepat setelah menonton film.
(chri/fjr)