Rifai menjelaskan salah satu keistimewaan dari guma. Ia menyebut setiap bagian bilah dari senjata itu punya identitasnya sendiri, mulai dari gagang hingga ke ujung bilah.
Valombo atau Warangkanya pun unik. Ada garis penanda pewarisan antar generasi dan bukti pertarungan pemiliknya, bisa berupa rambut musuh atau lainnya.
Gagang guma pun berbeda-beda. Ada yang seperti mulut terbuka, melengkung penuh, setengah atau lurus saja, adapula yang tajam di bagian ujung atau juga serupa ekor burung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya melihat gagang guma saja, bisa ditebak siapa pemakainya. Entah dia raja, bangsawan biasa, panglima perang atau rakyat biasa. Meski begitu, guma bukanlah pembeda strata sosial. Pemilahan bentuk gagang hanya disesuaikan dengan fungsi atau kegunaannya.
![]() |
Jenis guma pun diketahui beragam, ada tinompo, garanggo, kalama, petondu, lompo, dan kandanjonga. Menurut Kepala Museum Negeri Palu, Iksam, dulu guma ada beberapa jenis lagi namun kini hanya tinggal beberapa yang masih bisa diidentifikasi.
"Ada yang dipakai oleh para Raja, keturunan bangsawan atau pembesar, ada orang kebanyakan dan ada pula yang dipakai saat ritual-ritual adat tertentu saja," kata Iksam.
Pada era kiwari seperti saat ini, guma bisa dilihat dalam upacara-upacara adat, misal perkawinan para keturunan bangsawan Kaili, penyambutan tamu, ataupun ritual lainnya. Dahulu, guma juga digunakan dalam pelantikan raja atau perangkat kerajaan lainnya.
![]() |
Guma juga pernah digunakan dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Guma, doke, dan taliavo menjadi alat pertahanan dan perlawanan masyarakat Sulawesi Tengah kala itu melawan penjajah. Kesempatan untuk melihat 'peran' dari senjata tradisional ini hanya bisa dilihat di Monumen Karanjelambah, Kota Biromaru, Sigi.
Rifai menyebutkan bahwa tradisi membuat dan memelihara guma nyaris hilang ditelan zaman. Tinggal sedikit orang yang melakukannya.
"Itulah mengapa kami kemudian berusaha mengumpulkan, menginventarisasi, mengidentifikasi warisan budaya Sulawesi Tengah berupa guma ini," kata Rifai.
(jaf/end)