Di dunia perfilman Asia, Hong Kong telah mengembangkan reputasinya dengan baik. Salah satu kawasan terpadat di dunia ini pernah memproduksi 300 film dalam satu tahun, dan mengekspor banyak film ke negara lain di dunia.
Hong Kong juga melahirkan banyak superstar seni bela diri global seperti Bruce Lee, Jackie Chan, Jet Li, Andy Lau Michelle Yeoh, Donnie Yen, Tony Leung, Chow Yun-fat, Stephen Chow, dan masih banyak lagi.
Beberapa film Hong Kong juga diadaptasi ulang, seperti Internal Affairs yang dibuat ulang menjadi The Departed oleh Martin Scorsese.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hong Kong dikenal dengan segudang judul film-film polisi dan triadnya selama ini, seperti Infernal Affairs, A Better Tomorrow, God of Gamblers, Once a Thief, dan masih banyak lagi.
![]() |
Seperti dilansir laman Avenue of Stars, film kungfu komedi Bruce Lee menjadi pusat perhatian masyarakat pada 1970-an. Genre tersebut kemudian menjadi terkenal dan memiliki basis penggemar.
Hal itu sejalan dengan tahun-tahun ledakan ekonomi di Hong Kong yang menumbuhkan pandangan dan kepercayaan diri di masyarakat. Pesan itu disampaikan lewat film-film berakhir bahagia dan penuh harapan di masa-masa sulit.
Perfilman Hong Kong berada di masa emas pada 1980-an dan 1990-an dan bahkan merebut perhatian khusus di negara-negara Asia tenggara serta Amerika.
Lihat Juga : |
Namun, itu tak berjalan lama. Ketidakpastian dan ketegangan politik sebelum reunifikasi 1997 dengan China membuat industri film di Hong Kong mengalami penurunan.
Situasi tersebut membuat pembuat film mencoba menangkap sentimen masyarakat lewat karya mereka, seperti Tsui Hark yang menggambarkan usaha generasi muda mencari perlindungan dan pelampiasan dari kebingungan identitas baru Hong Kong sebagai bagian dari China.
Begitu pula dengan Wong Kar-wai yang sebagian besar film utamanya mengenai kebuntuan emosional sebagai representasi kegelisahan masyarakat saat Inggris menyerahkan kontrol kepada China pada 1997.
Awalnya, Taiwan juga memulai industri perfilman dengan materi-materi propaganda. Beberapa film dilahirkan ketika berada di bawah kepemimpinan Jepang.
Salah satunya adalah An Introduction to the Actual Condition of Taiwan yang menjadi film bisu pertama Taiwan. Film itu diarahkan sutradara asal Jepang Takamatsu pada 1907.
Dalam An Introduction to the Actual Condition of Taiwan yang terbit di jurnal Historical Dictionary of Taiwan Cinema pada 2013, Daw Ming Lee mengatakan film itu awalnya lebih dikhususkan bagi orang Jepang, bukan Taiwan.
Namun, hal itu kemudian menjadi pelajaran bagi Taiwan. Para pembuat film di sana mulai mengadaptasi gaya film-film Jepang, seperti benshi atau menggunakan narator untuk film bisu.
Genre-genre baru mulai diperkenalkan setelah Perang Saudara China berakhir (1949). Central Motion Picture Corporation (CMPC) memperkenalkan genre melodrama yang bertujuan membangun nilai-nilai moral tradisional yang dinilai penting saat bangsa bertransformasi.
![]() |
Di saat yang sama, film-film kungfu tradisional serta melodrama romantis juga populer.
Pada 1980-an, bioskop Taiwan mengalami kesulitan karena berkompetisi dengan film-film Hong Kong serta kemunculan home videos yang membuat banyak masyarakat lebih memilih menyaksikan film di rumah daripada di bioskop.
Kondisi tersebut membuat Central Motion Picture Corporation membuat proyek baru untuk 'menyelamatkan' industri perfilman. Proyek tersebut dikenal sebagai New Wave atau New Taiwanese Cinema.
Film-film melodrama dan kungfu tradisional seolah lekang oleh waktu. New Taiwanese Cinema menjadi era film-film yang lebih realistis, mudah terhubung dengan penonton, serta penuh simpati terhadap kehidupan masyarakat.
Salah satu sutradara yang menonjol adalah Hou Hsiao-hsien. Ia berani mengangkat isu-isu sensitif cenderung tabu lewat karyanya. Seolah cerminan dari kondisi sosio-politik keduanya, hal itu pula yang menjadi satu hal mencolok membedakan perfilman Taiwan dengan China.
![]() |
Pada 1989, ia merilis A City of Sadness yang mengisahkan insiden 28 February 1947 ketika pihak berwenang Taiwan menangkap dan membunuh ribuan pembangkang yang riil, serta yang masih dicurigai.
A City of Sadness menjadi film berbahasa China pertama yang memenangkan Golden Lion di Film Festival Venice.
Para sineas juga mulai fokus pada pengambilan gambar lingkungan perkotaan yang diduga hasil dari pengaruh pencabutan pembatasan perdagangan dan investasi asing pada 1980-an.
Seperti dilansir Film Inquiry, para sutradara dinilai mencoba bergulat dengan efek urbanisasi. Sehingga, begitu banyak film Taiwan menyajikan suasana sekitar tokoh, seperti bangunan perkantoran, apartemen, atau jalanan kepada penonton.
Tak hanya itu, sineas Taiwan juga lebih berani dalam mengeksplorasi hal-hal yang berpotensi dipermasalahkan lembaga sensor China, contohnya adalah Lust Caution yang digarap Ang Lee. Agar bisa tayang di China, sang sutradara kemudian memotong tujuh menit adegan seks dalam film tersebut.
(fby, chri/vws)