Namun pembagian royalti disebut Adi terganjal soal data kepemilikan lagu, yang kemudian menjadi alasan pembangunan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) untuk membantu penyebaran royalti secara lebih adil. Hal itulah yang disebut Adi menjadi latar keluarnya PP Nomor 56 tahun 2021.
Adi mengaku dirinya telah berdiskusi dengan sesama musisi sebelum PP Nomor 56 tahun 2021 itu disahkan. Namun ia juga tidak menampik ada beberapa bagian yang perlu disempurnakan. Untuk hal tersebut, Adi mempersilahkan pihak yang keberatan menggugat sesuai prosedur hukum.
"Ini kan buatan manusia, tapi kami tidak pada porsi mencari-cari kesalahan itu," kata Adi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"LMKN ini adalah lembaga bantu pemerintah, kita memberi masukan di awal, apakah puas, ya itu diluar kewenangan kami," lanjutnya yang juga mengaku tak semua masukan LMKN diterima pemerintah.
"Bahwa ada hal-hal yang tidak sesuai, mungkin ada. Kami tidak di posisi itu, kami menyambut baik karena ini ada itikad baik presiden," lanjutnya.
Sementara itu, Ebiet G. Ade selaku Komisioner LMKN bidang Teknologi Informasi dan Database Musik mengatakan bahwa LKMN sejatinya terbentuk untuk mengumpulkan royalti musik untuk didistribusikan ke LMK-LMK yang sudah berdiri sebelum mereka.
Ebiet menilai LMKN telah ada sebelum PP Nomor 56 Tahun 2021 disahkan, tepatnya pada 2014. Ebiet juga memastikan bahwa PP Nomor 56 Tahun 2021 itu dibuat tidak untuk merugikan pemilik lagu.
"Saya kan juga pemilik hak saya, tidak mungkin memposisikan pemilik hak itu rugi gara-gara PP Nomor 56," kata Ebiet G Ade.
"Saya berusaha PP ini ujungnya pemilik hak untung, disejahterakan, terutama pencipta lagu. Saya kan pencipta lagu... Saya berprasangka baik PP ini adalah upaya pemerintah memperkuat LMKN dalam 'mengakselerasi' peroleh royalti untuk kesejahteraan pencipta dan pemilik hak," kata Ebiet.
(nly/end)