Jakarta, CNN Indonesia --
Musisi yang juga Wakil Ketua Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia, Cholil Mahmud menjelaskan salah satu problematika pengelolaan royalti di Indonesia yang membuat rekan-rekannya meradang.
Gitaris band Efek Rumah Kaca itu menjelaskan banyak musisi Indonesia emosi terkait potongan yang dibebankan atas royalti yang menjadi hak mereka hingga keterlibatan pihak ketiga dalam pengelolaan royalti.
Cholil menyoroti potongan yang dibebankan atas royalti para musisi. Pihak ketiga yang bekerja sama dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), PT LAS, disebut mematok potongan 20 persen dari hasil royalti musik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, royalti tersebut sebelumnya telah dipotong 20 persen oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) masing-masing musisi.
AMPLI juga menyebut LMKN bekerja sama dengan PT LAS tanpa berdiskusi dengan musisi. Hal itu membuat musisi menjadi hilang kepercayaan terhadap LMKN.
"Di (Permenkumham) yang lama iya 20 persen. Jadi kan itu enggak pakai bilang-bilang ke musisi. Mungkin musisi satu dua orang, tapi enggak keseluruhan," ujar Cholil Mahmud kepada CNNIndonesia.com pada Jumat (21/1).
"Enggak bilang-bilang, tiba-tiba tambahin potongan jadi 40 persen. Ibaratnya kita pajaknya naik 20 persen lagi," lanjutnya.
Dana itu disebut digunakan untuk menjalankan operasional PT LAS dalam membangun Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) dan melaksanakan tugas harian LMKN.
"Dananya demi kepentingan untuk memuluskan si PT LAS karena uangnya dipakai untuk operasional PT LAS untuk membangun SILM dan pelaksana harian. Ya marah lah kita, kok gitu caranya, mendiskusikan kita tanpa kita enggak ada di dalamnya untuk diajak diskusi. Apalagi uangnya dipotong," ujar Cholil.
lanjut ke sebelah..
Berdasarkan informasi yang diterima AMPLI, PT LAS telah melaksanakan tugas harian LMKN yaitu menarik royalti. Hal tersebut kemudian menimbulkan polemik.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, selama 5 tahun sejak diberlakukannya UU tersebut, LMKN dan LMK dapat menggunakan dana operasional maksimal 30 persen dari jumlah keseluruhan royalti yang dikumpulkan setiap tahun.
Setelah 5 tahun, LMKN dan LMK hanya dapat menggunakan dana operasional maksimal 20 persen.
Namun, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 20 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik menyebut, LMKN dapat menggunakan dana operasional maksimal 20 persen dari jumlah royalti yang dikumpulkan setiap tahunnya. Hal itu kemudian mendapat protes dari sejumlah musisi.
"Lalu muncul Permenkumham 2021 yang nambahin lagi potongannya demi memuluskan pembangunan SILM yang mana dananya nanti akan dibayar untuk membayar developer-nya, tambahan 20 persen dari uang pencipta lagu," ujar Cholil.
"Jadi yang awalnya 20 jadi 40 atau 36, tergantung cara menghitungnya. Itu kan merugikan banget dan bertentangan dengan UU Hak Cipta," lanjutnya.
Cholil menyebut AMPLI akan terus memantau perkembangan perubahan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 20 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Mereka juga meminta agar kerja sama LMKN dengan PT LAS dijelaskan secara transparan.
"Yang paling vital menurut kami konflik kepentingan di PT LAS. Selayaknya kami ingin dibatalkan, dikocok ulang saja dengan proses yang lebih transparan. Kalau prosesnya enggak transparan kan jadinya kontradiktif," ujar Cholil.