"Kau bisa menemukan semuanya di Tinder."
Perkataan Cecilie Fjellhoy soal aplikasi kencan populer di kalangan anak muda itu ada benarnya, terutama bagi mereka yang aktif atau setidaknya pernah menggunakan aplikasi kencan.
Di sana, Anda bisa menemukan apapun. Mulai dari teman, cinta jangka panjang, cinta satu malam, jasa pijat, bahkan penjahat sekalipun seperti yang ditampilkan di The Tinder Swindler.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokumenter yang diangkat dari laporan investigasi media Norwegia, VG, ini menampilkan mimpi buruk dari petualangan jomlowan dan jomlowati: bertemu serigala berkedok unicorn.
Cerita mereka yang kena scam di Tinder atau aplikasi kencan lainnya sebenarnya bukan barang baru. Bagi mereka yang terbilang "dating app expert" seperti Cecilie, mestinya pernah mendengar beberapa di antaranya.
Saya pernah mendengar beberapa ceritanya. Namun biasanya hanya sebatas seseorang dari luar negeri ingin memberikan hadiah, tapi kemudian tertahan di bea cukai sehingga kita diminta untuk menebus. Klise.
Akan tetapi cerita dalam film ini, yang kemudian ditampilkan dalam bentuk narasi film thriller, lengkap dengan video, tangkapan layar dari obrolan, dan wawancara, sungguh di luar ekspektasi saya.
Saya sendiri awalnya sempat meragukan kisah dalam dokumenter ini adalah faktual. Apalagi eksekusi film ini sekilas mengingatkan saya akan film Searching (2018) yang juga berlatar soal media sosial.
Ditambah dengan cerita bak dongeng, siapa yang akan mengira bahwa ini sungguh benar terjadi? Apalagi teknologi perfilman saat ini bisa menampilkan sesuatu yang fiktif terlihat begitu nyata.
Hingga ketika tim VG muncul dalam film ini sebagai narasumber, saya cuma bisa berkata dalam hati: seriusan?
![]() |
"Apa yang terjadi padaku seperti di dalam film. Namun di film, selalu ada orang jahat." kata Cecilie.
Sutradara Felicity Morris menyusun setiap potongan fakta dan wawancara dengan apik. Alur cerita dan konflik berjalan cukup mulus dan menarik perhatian, hingga membuat penonton kadang butuh waktu untuk mencerna semua kenyataan yang terasa gaib ini.
Morris pun tampak lebih memilih untuk mengikuti alur asli dalam laporan investigasi VG yang berbentuk semacam lini masa. Ini jadi keputusan yang tepat mengingat VG sudah menampilkan laporannya dengan menarik.
Morris hanya menambahkan sejumlah bumbu-bumbu drama dari percakapannya dengan tiga perempuan pemberani yang meringkus si penipu Simon Leviev: Cecilie Fjellhoy, Pernilla Sjoholm, dan Ayleen Charlotte.
Keberadaan ketiga perempuan ini juga terasa ditonjolkan oleh Morris, sehingga narasi kekuatan perempuan menjadi lebih menonjol.
Selain itu, beberapa rekonstruksi ulang juga menambah drama yang sebenarnya sudah cukup menegangkan dari sajian video investigasi asli tim VG, rekaman suara yang berisi ancaman dari Leviev, dan beberapa foto lainnya.
Hal itu terbukti cukup baik meningkatkan ketegangan dan membuat penonton untuk tetap bertahan, setelah di awal-awal porsi cerita pengenalan dirasa agak terlalu banyak hingga terasa menjemukan.
Namun dengan berbagai konflik yang ada setelahnya, saya rasa itu bisa dimaafkan. Apalagi sejumlah fakta persidangan Simon Leviev yang menurut saya tidak adil bila dibandingkan dengan kondisi para korbannya kini.
Hingga ketika dokumenter ini usai, yang jadi pertanyaan adalah apakah penonton film ini kemudian memilih tetap "swipe kanan-kiri" seolah menganggap kisah Simon tak akan terjadi padanya, atau jadi merasa lebih takut, atau sungguh benar-benar takut hingga memilih uninstall?
Yang pasti, dokumenter ini menjadi narasi paling mudah untuk mengenalkan risiko bersosialisasi di media sosial di balik segala kemudahan akses dan budaya narsistik di dalamnya kepada generasi gawai.
(end)