Rintik gerimis baru berhenti di Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada suatu sore di penghujung Februari, ketika sebuah mobil hitam berhenti dan Reza Rahadian keluar dari balik pintu.
Ia tampil santai dengan kaus biru polos dan celana selutut. Sigap mendekati kami yang berkumpul di depan rumahnya yang asri dan bikin betah.
Reza benar-benar sibuk hari itu. Kami baru bisa menemuinya setelah ia syuting untuk sebuah proyek terbaru. Namun seabrek agenda tak menghilangkan keramahan, sopan santun, dan semangat dari pria kelahiran 5 Maret 1987 itu.
“Saya ganti baju dulu ya sebentar,” kata Reza izin pamit dan melesat masuk.
Kami cukup beruntung Reza Rahadian bersedia diwawancarai di rumah. Kami mengobrol di ruang tamu berukuran sekitar 2x3 meter yang setiap sudutnya berisikan hal-hal yang dekat dengan hatinya.
Misalnya saja pigura poster kecil Lion King yang merupakan film animasi favorit Reza, yang terpajang di meja belajar di sudut ruangan. Di meja yang sama ada foto ilustrasi aktor mendiang Ade Firman Hakim, sahabat Reza yang meninggal 14 September 2020 lalu, serta foto ibu Reza semasa muda dengan balutan pakaian tradisional.
Kemudian ada berbagai kenang-kenangan untuk Reza di sebuah lemari gantung, dan dua kursi kru film yang salah satunya adalah pemberian sutradara Hanung Bramantyo.
Di atas daun pintu kayu di tembok ruang tengah, ada instalasi siluet lima tokoh perdamaian: Gus Dur, Mother Teresa, Mahatma Gandhi, Dalai Lama ke-14 Tenzin Gyatso, dan Nelson Mandela.
Yang absen dari ruangan itu hanya satu: sederet piala penghargaan yang rutin ia terima.
Reza, yang muncul dari balik dinding dengan kemeja biru bermotif tenun dan celana panjang berwarna putih, menyebut piala-piala itu ia simpan di suatu ruangan. Tak pernah dipamerkan pada siapapun.