Jakarta, CNN Indonesia --
Sesosok ibu tampak bersemangat di seberang layar komputer. Ibu bernama Hj. Maria Ulfah itu masih mengingat memori dirinya dari kecil dididik dekat dengan Al-Qur'an hingga berhasil menjadi qariah atau pembaca ayat Al-Qur'an dengan langgam tingkat dunia.
Perempuan kelahiran Jombang, 21 Desember 1955 ini adalah perempuan pertama yang memenangkan kompetisi Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat internasional pada 1980 silam di Malaysia. Capaian itu terjadi bukan hanya dalam semalam, melainkan buah dari kehidupannya yang lekat dengan Al-Qur'an dari kecil.
"Saya belajar sejak kecil, sejak belum mengerti huruf, jadi hafalan," kata Maria saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maria Ulfah menyebut ayahnya, H. Mudhoffar, adalah sosok penting di balik kemampuan dirinya lihai melanggamkan ayat-ayat kitab suci umat Islam tersebut. Di rumah mereka di Lamongan, Jawa Timur, H. Mudhoffar kerap mengumpulkan remaja-remaja di sekitar rumahnya untuk mengaji di langgar yang didirikannya.
Hal itu terjadi sejak Maria masih seusia anak Taman Kanak-kanak. Ia yang kala itu belum bisa membaca sama sekali, hanya duduk dan menyimak lantunan ayat suci yang dibacakan.
Hingga kemudian, anak ke-sembilan dari 12 bersaudara ini menjadi akrab bahkan hafal sejumlah surah, seperti At-Taubah dan At-Tahrim.
Bahkan, Maria mengaku ayahnya pernah menyuruh ia membaca Al-Qur'an sebelum peringatan Isra Mi'raj dimulai di kampung mereka. Maria juga didorong untuk terus belajar membaca Al-Qur'an. Dari seminggu sekali, menjadi setiap petang usai salat Magrib di bawah bimbingan ustazah.
Tak cukup sampai di situ. Sang ayah juga memberikan dirinya sejumlah vinyl rekaman suara pembacaan ayat suci dari qari ternama seperti Syekh Mahmud Kholil Al Hussary dari Mesir. Rekaman itu diputar di gramofon mereka untuk membantu Maria Ulfah belajar.
 Hj Maria Ulfah, qariah internasional asal Indonesia. (dok. Istimewa) |
"Kalau pas hujan saya enggak mau berangkat ngaji, langsung dibawakan payung oleh ayah, harus ngaji, masyaallah. Ketat sekali ayah saya," kata Maria.
"Pokoknya di rumah itu ayah saya orangnya ketat, jadi lagu-lagu, nyanyian-nyanyian [selain Al-Qur'an] enggak boleh, [anak] yang lain boleh, itu untuk saya saja," katanya.
Hal itu terus terjadi hingga Maria Ulfah beranjak dewasa. Koleksi piringan hitam berisi murotal dan lantunan dari qari berganti menjadi kaset. Semua diputar untuk menjaga ilmu yang sudah ditanam dalam Maria.
Hingga kemudian, Maria memperdalam ilmu dan membaca Al-Qur'an di bangku perkuliahan sembari menyelesaikan studi di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Meski ia belajar dengan banyak guru di Jawa Timur, Maria Ulfah belum puas dan kemudian memutuskan datang ke Jakarta.
Di Jakarta, Maria Ulfah memutuskan mempelajari kemampuan bacaan Al-Qur'an dengan lebih dalam di Institut Ilmu Al-Qur'an. Di perguruan tinggi yang didirikan pada 1977 itu, Maria bertemu dengan guru-guru dari Mesir, salah satunya adalah Syekh Abdul Qadir Abdul Azim.
"Di situ saya mengembangkan lebih dalam lagi bahkan ragam bacaan, sebelum masuk di IIQ ragam bacaan saya satu macam saja," kata Maria.
Lanjut ke sebelah...
Maria Ulfah pun mulai melangkahkan kaki di kompetisi langgam ayat Al-Qur'an, MTQ, yang merupakan wadah bagi qori dan qoriah untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam memahami isi kandungan Al-Qur'an.
Sejak dimulai pada 1968, acara tahunan ini telah menelurkan banyak qari dan qariah di Indonesia. Kompetisi ini pun digelar mulai dari tingkat bawah seperti sekolah juga kelurahan, hingga nasional, yang juga akan berlanjut ke tingkat internasional.
Dalam MTQ, Maria mengatakan ada beberapa poin penilaian yang harus diperhatikan oleh peserta agar bisa lolos menjadi juara. Mulai dari, adab memegang Al-Qur'an, kejernihan suara, pemilihan lagu, kelancaran membaca Al-Qur'an, dan tentunya ketepatan tajwid.
Maka dari itu, kualitas suara dan teknik vokal juga harus diperhatikan. Teknik vokal dan beragam trik yang digunakan untuk menjaga kualitas suara seorang qari ini serupa dengan penyanyi menjaga suaranya.
Namun yang berbeda, seorang qari dituntut bisa 'menyanyikan' ayat tanpa melanggar kaidah-kaidah tajwid yang mutlak diberlakukan saat membaca Al-Qur'an.
Syarat ini kemudian membuahkan berbagai teknik pernapasan yang cukup rumit agar bisa mengambil napas panjang dalam menghadapi makhraj huruf, harakat, hingga tajwid dalam sebuah ayat, supaya menghasilkan lantunan yang dianggap tepat hingga sempurna.
"Karena di MTQ nada-nada yang dilantunkan, mulai dari nada terendah sampai tertinggi," kata Maria.
 Hj Maria Ulfah, qariah internasional asal Indonesia. (dok. Istimewa) |
"Qori atau qoriah enggak boleh sakit maag, jadi diafragma ini, tempatnya napas, kalau otot perut di sini lemah ya napasnya pendek, paru-parunya [harus] sempurna enggak boleh enggak sehat," lanjutnya.
Untuk sekaliber MTQ Internasional, tantangan menjadi lebih rumit. Maria menyebut panitia MTQ Internasional turut menilai segi penghayatan saat melantunkan ayat suci Al-Qur'an selain daripada teknik-teknik yang sudah Maria sebut.
Bahkan Maria menyebut, penghayatan saat melantunkan ayat suci ini seperti ketika membacakan puisi.
Apalagi, ayat-ayat Al-Qur'an bukan hanya sekadar bahasa Arab, melainkan dianggap memiliki kualitas yang keindahan bahasanya jauh melebihi sastra bahasa Arab pada umumnya. Maka dari itu, kata Maria, seorang qari atau qariah juga mesti belajar bahasa Arab agar memahami pesan dari ayat yang mereka lantunkan.
Terkait dengan penghayatan itu, ekspresi mimik wajah saat melantunkan ayat di MTQ Internasional juga mesti sesuai. Maria menyebut, meski peserta memiliki teknik napas mumpuni tapi jika tidak berkesan maka akan mengurangi poin.
"Jadi harus memasukkan dho, perasaan, menghayati lagu, sehingga didengarkan bisa syahdu, jadi pas didengarkan bisa enak, maknanya akan lebih syahdu. Kalau di internasional itu yang dinilai," kata Maria.
Namun lebih dari sekadar persiapan, teknik, dan pemahaman, Maria Ulfah mengatakan hal paling mendasar saat dirinya menjalani proses panjang menjadi qari melalui kompetisi ini adalah kebersihan hati.
"[Niatnya] Ibadah, bukan mencari hadiah. Enggak boleh niatnya mencari hadiah, karena Al-Qur'an ini lain dengan olahraga. Kalau atlet olahraga itu tidak apa-apa niatnya mencari hadiah," kata Maria Ulfah yang kini menjadi pengajar Al-Qur'an sekaligus juri MTQ di berbagai daerah.