Review Film: KKN di Desa Penari

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Rabu, 04 Mei 2022 21:10 WIB
Review film KKN di Desa Penari: ekspektasi menanti dua tahun film dari cerita viral ini tayang tak seutuhnya terpuaskan. (dok. MD Pictures/YouTube)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ekspektasi mungkin jadi penghalang menikmati film KKN di Desa Penari yang akhirnya tayang usai tertunda dua tahun akibat pandemi. Film garapan Awi Suryadi ini tak mengecewakan, tapi juga tak memuaskan saya sebagai pembaca kisah viral 2019 itu.

Film yang ditulis skenarionya oleh Lele Laila ini tidak buruk, tapi tidak sampai membuat saya terpukau apalagi merinding seperti The Conjuring yang juga diadaptasi dari kisah nyata.

Eksekusi kisah utas Twitter oleh SimpleMan ini memang didominasi dengan mengikuti cerita aslinya, bahkan bisa dibilang terlalu kaku sehingga film ini bagai masing-masing twit yang dibuat reka adegannya.

Cerita film KKN di Desa Penari berjalan begitu "apa adanya". Entah apa karena cerita KKN di Desa Penari aslinya dikisahkan tersaji dalam beberapa sudut pandang, sehingga membuat satu naskah film utuh menjadi begitu sulit dilakukan.

Namun yang pasti, pengembangan dan modifikasi cerita di film ini minim. Hanya ada beberapa perubahan untuk menyesuaikan format cerita layar lebar. Selain itu, beberapa bumbu di sejumlah bagian sebagai dramatisasi atau diniatkan sebagai penyegar.

Sayangnya, racikan itu tetap saja membuat film ini secara keseluruhan tak terlihat sebagai cerita yang utuh. Penonton, yang sebagian besar pasti sudah pernah membaca ceritanya, mungkin akan langsung terkoneksi saat adegan berganti meski loncatannya terasa kasar.

Akan tetapi saya ragu hal itu terjadi pada mereka yang belum pernah membaca, atau hanya sekadar melihat sekilas, atau pun seutuhnya lupa dengan cerita utas Twitter itu.

Review KKN di Desa Penari: eksekusi kisah utas Twitter oleh SimpleMan ini memang didominasi dengan mengikuti cerita aslinya. (dok. MD Pictures via YouTube)

Misalnya saja, kurangnya pengenalan karakter dalam film ini. Atau penghubung antar bagian cerita yang kurang halus, sehingga penuturan kisah-kisah yang mestinya menegangkan menjadi tidak tersampaikan dengan mulus.

Awi Suryadi juga terasa kurang mengeksplorasi kengerian tempat dan suasana yang sebenarnya sudah on point. Hal itu terlepas dari saya dan mungkin penonton lainnya yang sudah punya imajinasi masing-masing soal lokasi kejadian dari membaca kisahnya di Twitter.

Ada banyak peluang yang sebenarnya bisa didramatisir, tapi justru tidak dipilih oleh Awi. Entah karena keputusan untuk saklek mengikuti kisah yang viral, atau karena hal lain.

Padahal, dramatisasi dalam film yang diangkat dari kisah nyata sebenarnya bisa menguntungkan karena membuat penonton lebih hanyut dalam cerita.

Apalagi Awi dan Lele Laila sebenarnya bermain dengan modifikasi gaya penuturan di bagian akhir, yang justru menurut saya seharusnya itu bisa dimanfaatkan dengan baik sejak awal.

Namun kembali lagi, ini adalah tantangan tricky bagi proyek-proyek film yang didasarkan kisah atau cerita teks terkenal. Saga raksasa seperti Harry Potter pun terus menghadapi ini hingga filmnya tamat pada 2011.

Terlepas dari cerita yang seadanya dari film KKN di Desa Penari, saya angkat topi untuk segenap tim atas kualitas sinematografi, desain produksi, tata rias, tata suara, juga set properti yang digunakan.

Review KKN di Desa Penari lanjut ke sebelah...

Stigma


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :