Review Film: Srimulat: Hil yang Mustahal - Babak Pertama
Kisah Srimulat sebenarnya mirip mitos dan legenda. Ada banyak narasi gambar bergerak yang menggunakan nama atau bagian ceritanya untuk ditampilkan. Namun film Srimulat: Hil yang Mustahal ini jelas berbeda.
Film yang baru ditayangkan dalam Babak Pertama ini bisa dibilang bukan cuma nebeng nama grup ikonis itu, tapi juga sebagai bentuk mengenang dan merayakan keberadaan Srimulat.
Fajar Nugros selaku penulis dan sutradara film ini membuat Srimulat Hil yang Mustahal Babak Pertama sebagai gambaran kecintaan dan kenangan penggemar akan idolanya.
Srimulat Hil yang Mustahal mungkin adalah karya dengan embel-embel Srimulat yang bisa membawa saya mengenang kembali saat menelusuri jejak peninggalan grup berpengaruh di Indonesia itu, di beberapa kota di Indonesia bersama tim CNN Indonesia lainnya.
Liputan khusus CNN Indonesia soal Srimulat pada 2019 bisa dilihat di sini.
Kenangan itu sudah muncul sejak pertama kali Fajar menyuguhkan sosok Teguh Srimulat (Rukman Rosadi). Segala foto, cerita, dan pengalaman saya menemui berbagai saksi hidup dan anggota Srimulat yang tersisa bagai muncul dari permukaan dan membanjiri benak.
Mungkin itu pula yang terjadi dengan banyak penggemar Srimulat saat melihat film ini. Beragam mimik, lawakan, ledekan, gerak-gerik, hingga suasana pentas dari panggung ala ketoprak sampai bersolek khas bintang televisi era '80-an tersaji dengan apik.
Saya angkat topi setinggi-tingginya untuk tim desain produksi, tata rias, tata kostum, sinematografi, hingga tim arsip yang berusaha membangun suasana era akhir 70-an hingga 80-an saat Srimulat mulai meniti karier di Jakarta.
Saya memahami sekali kesulitan Fajar Nugros dan tim mencari berbagai arsip sebagai riset hingga footage peralihan adegan. Kebobrokan Indonesia dalam mengelola arsip sejarah memang satu hal yang lain, tapi film ini sekiranya menjadi memorabilia penting agar Srimulat tak hilang ditelan zaman.
Apalagi, banyak anak muda saat ini tak mengenal bagaimana dulu, ribuan hingga jutaan masyarakat Indonesia terpingkal-pingkal melihat aksi panggung geng Srimulat.
Bahkan, nama "Srimulat" adalah sebuah jaminan mutu seorang komedian. Maka wajar, di era berkembangnya televisi swasta pada dekade '90-an, komedian-komedian Srimulat terutama yang cabang Jakarta, hidup dalam keglamoran dengan status artis ibu kota.
Terlepas dari berbagai citra negatif yang pernah melanda komedian-komedian Srimulat pada era tersebut, toh aksi panggung mereka tetap ditunggu.
Penonton seolah lupa dengan berbagai skandal mereka, yang ditunggu adalah bagaimana bisa tertawa melihat Srimulat. Tekanan itulah yang kerap dirasakan banyak penghibur. Penonton seolah lupa bahwasanya di balik panggung, para komedian ini juga manusia.
Fajar Nugros pun tak lupa memasukkan hal ini ke dalam filmnya. Gambaran frustrasi hingga upaya melupakan beban personal untuk bisa menghibur penonton sejatinya seperti hantu yang meneror kehidupan para penggawa Srimulat.
Lihat Juga :LAPORAN INTERAKTIF Babad Pentas Srimulat |
Ya, mereka senang mendapatkan apresiasi. Namun ketakutan bahwa penonton tak puas apalagi sampai dilempar barang oleh pemimpin grup serta penonton adalah sebuah keniscayaan.
Meski begitu, Fajar Nugros bukan hanya memotret perjuangan Srimulat untuk bisa "diterima" di ibukota, melainkan juga menampilkan kunci bagaimana Srimulat bisa menjadi legenda dan memengaruhi selera, standar, hingga format komedi Indonesia.
Bila saya bisa merangkum, kunci tersebut sejatinya terletak pada kepemimpinan dan kebersamaan. Srimulat tak akan ada bila Teguh Srimulat tak pernah mengumpulkan bibit-bibit unggul ini, dan Srimulat tak akan bisa bertahan bila para komedian cemerlang di dalamnya hanya mementingkan ego personal.
Lanjut ke sebelah...