"Ketika '88 kita dibentuk itu aku SMA, kelas 3. Disuruh latihan keroncong, 'Ogah lah, anak muda kok latihan keroncong," tutur Arthur James Michiels, pemain senior Krontjong Toegoe yang sekaligus generasi ke-10 dari klan ini.
"Apalagi kalau tahun '80an dulu sebelum tahun 90, keroncong itu nyaris enggak kedengaran," lanjutnya saat berbincang beberapa waktu lalu.
Bertahun-tahun berusaha bertahan, Krontjong Toegoe masih aktif hingga kini. Bukan hanya sekadar menggelar latihan tiap hari Minggu atau tawaran manggung, tetapi juga ikut berbagai festival sampai tampil di hadapan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Krontjong Toegoe sampai saat ini telah menelurkan lima album penuh berjudul Pesisir Utara, Madah Nusantara, Krontjong Toegoe in Blue, Romantic Souvenir, dan De Mardijkers.
"Ya saya sih berharap bahwa pertama Keroncong Tugu ini akan tetap ada. Regenerasi tetap terjadi. Tongkat estafet akan terus diberikan dari generasi ke generasi," lanjutnya sambil berkaca-kaca saat berbincang beberapa waktu lalu.
Klan Quiko masih ada untuk memainkan keroncong Tugu. Keturunan ke-delapan keluarga yang masih menggunakan nama khas Portugal ini, Guido Quiko, menginisiasi orkes Cafrinho Keroncong Tugu.
Orkes ini, kata Guido, ia bentuk pada 1991 usai terjadi penurunan minat bagi masyarakat muda Kampung Tugu dalam memainkan musik keroncong.
Lihat Juga : |
"Sampai kemudian, orang-orang Tugu ini kan males, kalau mau minum-minum malah mau, disuruh main keroncong ngumpul gitu susahnya minta ampun," kata Guido saat berbincang dengan CNNIndonesia.com dalam kesempatan terpisah.
Grup ini dibentuk setelah grup orkes keroncong tertua di Kampung Tugu, Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe-Anno 1661, dibekukan pada 1988.
Grup itu bubar dan membuat anggotanya tercerai-berai. Beberapa di antaranya juga memilih bergabung dengan kelompok Krontjong Toegoe milik keluarga Michiels.
"Ya sudahlah, pada 1991 kami membentuk Cafrinho, setelah salah seorang anggota Moresco itu membentuk grup Krontjong Toegoe," kata Guido.
Pada 1994, Cafrinho Keroncong Tugu melepas lagu ikonis orisinal bertajuk Sirih Kuning. Produktivitas itu kemudian berlanjut dengan dilepasnya 1 album kompilasi berjudul Album Rekaman Keroncong Tugu.
Selain lagu-lagu berbahasa Indonesia, album kompilasi itu turut memuat tembang-tembang klasik berbahasa Kreol Tugu seperti Gato de Mato dan Jan Cagar Leite.
Selain itu, grup ini juga melepas berbagai nomor-nomor klasik yang menjadi primadona penggemar keroncong pada masa kejayaannya seperti Sarinah, Pasar Gambir, Schoon Ver van Jou, dan lagu-lagu berbahasa Melayu lainnya.
(far/end)