Mendengar Dendang Keroncong Tugu Kini

CNN Indonesia
Minggu, 14 Agu 2022 08:17 WIB
Keroncong Tugu sudah ada sejak tiga abad lalu dan menghadapi lika-liku yang mengancam eksistensinya hingga kini.
Keroncong Tugu sudah ada sejak tiga abad lalu dan menghadapi lika-liku yang mengancam eksistensinya hingga kini. Foto: (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pergelaran musik keroncong saat ini mungkin bisa dinikmati dalam lingkup kecil, seperti acara yang digelar pemerintah, peresmian sesuatu atau acara-acara di pusat perbelanjaan.

Namun, keroncong sempat menjadi hiburan musik bagi kelas-kelas elite pada masa kolonial. Keroncong, terutama kini dikenal sebagai keroncong Tugu ternyata menyimpan kisah tersendiri dalam perkembangannya.

Musik itu awalnya digunakan masyarakat lokal untuk menghibur diri sendiri karena ditempatkan Belanda di kawasan rawa, jauh dari pusat kota Batavia. Mereka ditempatkan di sana akibat Malaka kalah dari Belanda pada 1641.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak hanya itu, musik hasil akulturasi budaya Belanda dan lokal tersebut juga digunakan untuk menjaga identitas diri sebagai penduduk koloni Portugis.

Para pewaris keroncong Tugu, seperti Guido Quiko menilai Belanda menempatkan leluhurnya di kawasan rawa untuk membunuh mereka. Namun, para moyangnya pun benar-benar berupaya bertahan dalam kondisi tersebut.

"Orang-orang Tugu kan awalnya juga bermaksud untuk dibunuh [Belanda]," ucap Guido Quiko mengenang cerita nenek moyangnya kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu. 

"Karena wilayah Batavia tenggara itu sangat rentan dengan malaria, itu wilayah rawa-rawa. Maksudnya biar orang-orang itu mati dengan alam. Tapi kan akhirnya kami enggak kalah sama alam itu, justru alam yang kami kalahkan," cetusnya.

Guido Quiko merupakan keturunan kedelapan dari keluarga Quiko di Kampug Tugu. Ia juga menjadi pentolan Keroncong Tugu Cafrinho, grup musik yang masih berupaya melestarikan budaya leluhur itu.

Hingga pada abad ke-19, keroncong Tugu mendapat sorotan publik hingga membuat mereka tampil di luar 'zona nyaman' dengan tampil di kawasan Weltevreden, daerah tempat tinggal utama orang-orang Eropa di pinggiran Batavia, Hindia Belanda.

Lihat Juga :

Hal itu ditulis peneliti musik populer dari Belanda Lutgard Mutsaers dalam penelitian bertajuk Barat Ketemu Timur: Cross-Cultural Encounters And The Making of Early Kroncong History dan dikutip Portal Informasi Indonesia.

Namun, sorotan itu surut ketika masa kependudukan Belanda digantikan Jepang pada awal 1940-an. Jepang melarang penampilan keroncong, terutama keroncong Tugu karena dinilai menambah semangat pemuda hingga berpotensi memicu pemberontakan.

Kondisi tersebut membuat keroncong Tugu sempat mati suri hingga hidup lagi ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan Indonesia merdeka.

Jepang bukan satu-satunya yang 'menjajah' keroncong Tugu, perkembangan zaman membuat minat masyarakat luas bahkan warga Kampung Tugu sendiri kepada keroncong menurun.

Sehingga, sejumlah upaya dilakukan Guido untuk mempertahankan budaya itu.

Suasana kelompok keroncong Krontjoeng Toegoe saat latihan di markas mereka di Kampung Tugu, Jakarta Utara, Minggu (7/8/2022).(CNN Indonesia/Endro Priherdityo)Suasana kelompok keroncong Krontjoeng Toegoe saat latihan di markas mereka di Kampung Tugu, Jakarta Utara, Minggu (7/8/2022).(CNN Indonesia/Endro Priherdityo)

Hal serupa juga dilakukan Angel dan Arthur J. Michiels yang kini tergabung dalam Krontjong Toegoe, salah satu grup musik yang berdiri pada 1988 dan masih melestarikan musik keroncong Tugu sampai saat ini.

Fenomena itu kini coba dibahas secara singkat dalam Fokus edisi Agustus 2022, Dendang Abadi Keroncong Tugu. Banyak bagian dalam keroncong yang mungkin belum terkupas dalam Fokus kali ini, tapi ini menjadi sedikit upaya untuk menyuarakan kembali dendang keroncong pada masa kini.

Gif banner Allo Bank
(chri)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER