"Persoalannya, karena kita 2020 mendadak digital, banyak orang yang tidak paham," kata Devie. "Itu butuh waktu untuk kemudian mengedukasi masyarakat,"
"Inilah yang kemudian terjadi seperti yang kita lihat sekarang, yang mana sayangnya dilakukan oleh tokoh masyarakat," lanjut Devie.
Terlepas dari "mendadak digital" seperti yang diucap Devi, masalah per-konten-an juga tak bisa terlepas dari aspek kreativitas yang mestinya menjadi nyawa utama sebuah produk hasil kreasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Menurut Kritikus Film yang juga anggota Dewan Kesenian Jakarta, Hikmat Darmawan, tak semua konten yang diciptakan kreator konten bisa langsung disebut sebagai bentuk "kreativitas".
Bagi Hikmat, "produk kreatif" bukan sekadar bisa membuat sesuatu. Perlu ada gagasan dan tujuan yang mendorong terciptanya konten tersebut, serta tentu saja tidak sebatas hasrat untuk memproduksi konten.
"Di samping mencipta, kan ada tujuannya. Kalau sekadar hanya didera untuk meraih sebanyak mungkin perhatian, itu kan cuma jadi binatang ekonomi aja gitu," kata Hikmat.
"Dalam konteks itu, konotasi kreativitas dengan kemerdekaan tidak terjadi. Yang terjadi desakan, deraan, untuk berproduksi konten," lanjutnya.
Kini, konten-konten di internet banyak bukan hanya minim kreativitas, tetapi juga tanggung jawab dari para kreatornya.
Ambil contoh Baim Wong yang punya puluhan juta pelanggan, sudah sepatutnya bertanggung jawab akan segala dampak dari kontennya yang bisa memengaruhi puluhan juta orang penontonnya serta lingkungannya.
Tanggung jawab itu pun bukan hanya berlaku bagi para kreator konten dengan jumlah pelanggan jutaan. Siapapun mereka yang sudah memiliki pengikut, berapa pun, semestinya menyadari akan dampak dari segala yang mereka tampilkan ke hadapan publik.
Lihat Juga : |
Devie mengaitkan tanggung jawab itu dengan teori patron klien, yang kemudian diibaratkan dengan hubungan antara lokomotif dengan gerbong.
Dalam konteks ini, kreator konten adalah lokomotif yang punya kendali penuh atas penggemar alias gerbongnya. Hubungan itu disebut Devie erat hubungannya dengan kultur masyarakat timur seperti Indonesia.
"Di kultur masyarakat timur, orang yang punya pengaruh sosial kuat seperti konten kreator, itu menjadi lokomotif kehidupan," kata Devie.
"Memang ketika Anda menjadi tokoh sosial, suka tidak suka Anda punya tanggung jawab moral sosial dan bahkan hukum untuk memastikan agar masyarakat yang menjadi gerbong Anda memiliki perilaku yang sehat secara moral, sosial, dan juga tidak melanggar hukum," lanjutnya.
Tanggung jawab itu juga dipicu karena hingga saat ini belum ada asosiasi yang menaungi kreator konten. Hikmat menilai kehadiran asosiasi penting untuk mengawasi kreator konten, salah satunya dengan menerbitkan kode etik.
Kode etik juga dinilai penting karena bisa menjadi alat kontrol bagi kreator yang doyan membuat konten tak bernilai.
"Kalau sekarang boro-boro ada asosiasi, emang sekarang ada profesinya?" kata Hikmat. "Kalau lah tidak ada kode etik profesi, lantas kanalnya apa untuk etik itu bicara. Sejauh ini kita hanya mengandalkan sanksi sosial."
(frl/end)