Jakarta, CNN Indonesia --
Dua tahun pandemi yang memaksa bioskop tutup, film layar lebar ditunda hingga beralih ke layanan streaming, dinilai mengubah kebiasaan dan tren penonton film di Indonesia.
"Sangat ada perubahan, sih," kata akademisi film Institut Kesenian Jakarta, Satrio Pamungkas, kala berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Makanya kemarin saya positif banget dengan KKN di Desa Penari dan itu adalah harapan filmmaker... Mudah-mudahan itu membangkitkan lagi buat orang-orang yang selama ini streaming via handphone, untuk mau berangkat ke bioskop," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Industri film Indonesia memang mengalami situasi unik begitu pandemi sudah mulai terkendali. Salah satunya adalah KKN di Desa Penari mencapai rekor baru dalam sejarah industri film lokal Indonesia.
Menurut data filmindonesia.or.id pada Sabtu (2/7), KKN di Desa Penari berhasil menjual 9,23 juta tiket, angka penjualan tiket tertinggi yang pernah dicapai film Indonesia manapun hingga saat ini.
Beberapa film lainnya yang semula diprediksi tak mendapat banyak penonton justru mendulang box office yang lumayan baik, seperti Ngeri-ngeri Sedap yang berhasil menjual 2,5 juta tiket.
Akan tetapi, beberapa film lain yang diprediksi mendulang penonton seperti Satria Dewa Gatotkaca justru flop dengan capaian tak sampai 200 ribu tiket selama 20 hari penayangan.
 KKN di Desa Penari berhasil menjual 9,23 juta tiket, angka penjualan tiket tertinggi yang pernah dicapai film Indonesia manapun hingga saat ini.: (MD Pictures via Twitter) |
Capaian film superhero itu bahkan lebih rendah dari film Srimulat: Hill yang Mustahal Babak Pertama yang memiliki segmen pasar lebih spesifik, yaitu para penonton grup Srimulat era TVRI. Fim besutan Fajar Nugros itu menjual 246 ribu tiket.
Sejumlah film lainnya pun masih menanti-nanti dengan cemas jumlah penjualan tiket di bioskop. Apalagi, dua tahun pandemi yang akhirnya mulai dianggap berakhir membuat studio seperti buru-buru melepas film yang sebelumnya ditahan penayangannya.
Namun rasanya keputusan menggelontorkan banyak film pasca pandemi itu tak sejalan dengan kondisi juga minat para penonton yang kini jadi lebih 'pilih-pilih'.
Seperti yang terjadi dengan Sabda. Pria 24 tahun yang merupakan penggemar film ini mengaku "terpaksa" beralih ke layanan streaming selama momen pandemi. Akan tetapi ketika bioskop mulai dibuka, ia tak serta merta langsung membeli tiket dan menonton seperti sedia kala.
Selain memikirkan faktor keamanan diri dari wabah, Sabda menilai kini ia lebih tergerak ke bioskop hanya untuk "film-film yang memang 'harus' ditonton dengan layar lebar dan audio bagus,"
"Misalnya kayak Top Gun, atau film rilisan MCU. Kemudian juga film-film yang kemungkinan masuk layanan streaming-nya lama atau bahkan kecil," kata penggemar komedi-romantis dan superhero ini.
Apalagi Sabda mengaku dirinya termasuk orang "FOMO" alias fear of missing out atau 'takut ketinggalan' dari tren atau pembahasan terbaru. Namun derasnya arus film baru yang tayang usai pandemi dan 'beban' langganan sejumlah layanan streaming memaksa dirinya untuk memilih-milih film.
"Jadi lebih cermat buat memilih film yang mau ditonton. Pertimbangannya mulai dari review yang beredar sampai perkiraan kapan film itu masuk streaming," katanya yang kini sudah datang ke bioskop lima kali dalam sebulan terakhir.
Tak jauh berbeda dengan Sabda, Laila, perempuan 31 tahun ini juga masih berminat untuk datang ke bioskop meski sudah langganan di sejumlah layanan streaming. Namun ia kini hanya tergerak datang untuk beberapa genre tertentu.
"Film action hero, fiksi, animasi," kata Laila soal jenis-jenis film yang membuat dirinya tergerak ke bioskop pascapandemi.
Menurut Laila, ia kini kembali masuk bioskop hanya "karena filmnya bagus dan cuma ada di bioskop" serta enggan "kelamaan menunggu filmnya keluar" di layanan streaming.
Satrio menilai banyak masyarakat Indonesia kini sudah terbiasa dengan konsep menonton "mager", alias "orang cuma nonton film dengan cara tiduran dan pakai headset".
"Dua tahun ini membentuk konstruksi yang begitu kuat, kayak kita meeting aja enggak perlu ketemu. Sehingga buat ruang budaya menonton bioskop ini perlu kerja berat," lanjut Satrio.
Lanjut ke sebelah..
"Budayanya sudah berubah. Mereka bahkan sekarang ada bahasa buat menunggu tayang di streaming saja, apalagi filmnya bisa di-pause, skip, bisa diulang, bisa milih makanan sesuai yang dimau," katanya.
Kondisi ini semakin membuat studio mesti pintar-pintar meracik film dan memainkan momentum untuk bisa dilirik penonton. Salah satu yang dianggap Satrio berhasil memainkan formula itu adalah KKN di Desa Penari.
"Racikannya mungkin obrolan yang disukai, lalu dikemas dengan memainkan identitas sosial masyarakat Indonesia, dicampur lagi dengan sudut pandang pemikiran yang mudah diterima. Jadi kena juga semuanya," kata Satrio soal KKN di Desa Penari.
Selain itu, fenomena Ngeri-ngeri Sedap dan Satria Dewa Gatotkaca menjadi pembelajaran baru bagi industri film Indonesia pascapandemi. Satrio menilai faktor kedekatan cerita atau film dengan penonton jadi hal yang patut dipertimbangkan.
Misalnya dalam kasus Ngeri-ngeri Sedap. Cerita yang mengangkat kehidupan keluarga, juga perantau yang jauh dari keluarga, dianggap lebih 'relate' dengan penonton dibanding fantasi macam Satria Dewa Gatotkaca meski digarap sutradara terkenal atau diangkat dari budaya Indonesia.
"Harusnya bisa mainkan isunya dulu, kayak KKN isu itu udah berjalan di masyarakat kan. Lalu dimanfaatkan momentum itu," kata Satrio. "Orang-orang itu datang ke bioskop udah enggak mau lagi cari capek buat melihat suatu hal yang imajinatif. Akhirnya mereka menonton Ngeri-Ngeri Sedap, kesenangan itu lho,"
"Gatotkaca itu mungkin secara sosial identitas kuat ya, tapi secara pleasure kalah sama Ngeri-Ngeri Sedap. Dan orang itu datang ke bioskop ingin tertawa, ingin hiburan. Kesenangan itu yang tidak dijual Gatotkaca," katanya.
 Beberapa film lainnya yang semula diprediksi tak mendapat banyak penonton justru mendulang box office yang lumayan baik, seperti Ngeri-ngeri Sedap yang berhasil menjual 2,5 juta tiket. (dok. Imajinari via YouTube) |
Variabel Pembatas
Meski tergambar bahwasanya film laris pascapandemi mestilah memainkan kualitas cerita, memperhatikan momentum, hingga kedekatan dengan masyarakat, fenomena laris manis seperti KKN di Desa Penari dipandang belum pasti terjadi setiap kali formula itu dimainkan.
"Tidak ada yang pasti di bawah langit ini, apalagi dalam industri film. Kalau [bujet] Rp24 miliar pasti laku? Enggak juga. Rp30 miliar-an membuat Gundala juga tidak mendapat penonton 7 juta seperti yang diharapkan," kata pengamat film dan budaya populer Hikmat Darmawan dalam kesempatan terpisah.
"Matematikanya pasar kita itu tidak memungkinkan Indonesia punya film saat ini bisa ditonton lebih dari 15 juta, 10 juta aja rada mustahil," lanjutnya.
"Bahkan, itu masih banyak yang enggak percaya pada saat [KKN di Desa Penari] sudah hampir 7 juta. Kenapa? Ketersediaan layar dan ketersebaran bioskop di seluruh Indonesia itu belum bisa lebih dari itu," kata Hikmat yang mengatakan ini ketika KKN di Desa Penari sudah menembus angka lebih dari 9,2 juta penonton.
[Gambas:Photo CNN]
Sehingga, menurut Hikmat, formula apapun yang digunakan oleh studio dalam membuat film mereka laris manis akan memiliki variabel pembatas berupa infrastruktur ekshibisi perfilman Indonesia.
Menurut data Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia yang dilaporkan pada Mei 2022, jumlah layar bioskop di Indonesia mencapai 2.088 layar. Sebanyak 65 persen di antaranya adalah milik jaringan Cinema XXI, baru kemudian ada jaringan CGV, Cinepolis, dan independen.
Padahal pada 2019 diberitakan, angka 2.000 layar adalah titik penting bagi industri film Indonesia. Hal ini lantaran jumlah tersebut menjadi batas psikologis yang memungkinkan Indonesia akan memiliki penonton film menyamai Korea Selatan, 10 juta tiket terjual per film.
 Menurut data Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia yang dilaporkan pada Mei 2022, jumlah layar bioskop di Indonesia mencapai 2.088 layar. (CNN Indonesia/Andry Novelino |
Korea Selatan yang merupakan pasar internasional ke-empat terbesar di dunia terakhir kali tercatat pada 2015 memiliki 2.492 layar tersebar di seluruh penjuru Negeri Gingseng dan memiliki 18 film lokal yang menembus angka 10 juta tiket terjual.
"Apa yang menyebabkan diyakini laris, itu tidak laris? Kebanyakan bukan intrinsiknya, mutu filmnya, tetapi karena variabel di luar film alias ekstrinsiknya," kata Hikmat.
"Jadi kalau ada film modal besar terus flop, itu biasa terjadi kok. Bisa karena filmnya dapat omongan jelek, tapi ada juga kritikus semua bilang jelek tapi laris-laris saja," lanjutnya.
"Kita hanya bisa memperbaiki infrastruktur, kualitas produksi, kualitas penonton, tapi at the end of the day, tidak ada rumus pasti sebuah film laku atau enggak." kata Hikmat Darmawan.